Meskipun terlihat sebagai kepercayaan yang berkaitan dengan hal gaib, larangan ini sebenarnya memiliki fungsi yang lebih luas dalam kehidupan sosial dan ekologi masyarakat, antara lain:
Mitos ini mengajarkan pentingnya menjaga tutur kata dan sikap, terutama saat berada di tempat asing.
Dalam konteks ini, hutan dianggap sebagai wilayah yang bukan milik manusia sepenuhnya, sehingga siapa pun yang memasukinya harus menunjukkan rasa hormat.
Secara praktis, larangan ini membantu menjaga keselamatan orang yang berada di hutan.
BACA JUGA:Kades Melapor Kena Tipu, Total Kerugian Rp35 Juta, Jaminan Mobil Diambil
Kata kasar atau teriakan keras dapat menarik perhatian binatang liar atau menimbulkan konflik antar kelompok.
Dengan menjaga ketenangan, risiko bahaya dari alam atau sesama manusia dapat diminimalkan.
Kepercayaan ini juga berfungsi sebagai bentuk penghormatan terhadap lingkungan.
Larangan berkata kasar dapat dianggap sebagai bagian dari norma yang mendukung perlindungan hutan sebagai ekosistem yang harus dijaga.
BACA JUGA:Kerugian Negara Capai Rp4,84 Miliar, Vonis 7 Terdakwa Tipikor RSUD Mukomuko Paling Tinggi 16 Bulan
Mitos ini memperkuat rasa kebersamaan dalam masyarakat.
Larangan tersebut mengajarkan bahwa manusia harus hidup harmonis dengan alam dan saling mendukung dalam menjaga keseimbangan.
Di balik mitos larangan ini terdapat pesan moral yang relevan untuk kehidupan modern.
Mitos tersebut menekankan pentingnya rasa hormat, baik terhadap sesama manusia maupun terhadap alam.
BACA JUGA:Mantan Kades Puguk Pedaro dan Bendahara Didakwa Rugikan Negara Rp804 Juta
Hutan adalah sumber daya yang tak ternilai, dan mitos ini mengingatkan manusia untuk tidak merusaknya dengan perilaku sembarangan.