Sidang Perdana Kasus Korupsi Mega Mall Bengkulu Digelar 10 November
DIDAMPINGI: Mantan Walikota Bengkulu Ahmad Kanedi nampak didampingi kuasa hukum saat pemeriksaan sebelum dilimpahkan beberapa waktu lalu. WEST JER TOURINDO/RB--
KORANRB.ID – Sidang perdana kasus korupsi Mega Mall dan Pasar Tradisional Modern (PTM) Bengkulu dijadwalkan digelar 10 November 2025 di Pengadilan Tipikor Bengkulu.
Tujuh tersangka, termasuk mantan Wali Kota Bengkulu Ahmad Kanedi, akan duduk di kursi pesakitan dalam sidang dengan agenda pembacaan dakwaan.
Para terdakwa lainnya yakni mantan pejabat ATR/BPN Kota Bengkulu Chandra D. Putra, Direktur Utama PT Tigadi Lestari Kurniadi Benggawan, Direktur PT Tigadi Lestari Heriadi Benggawan, Komisaris PT Tigadi Lestari Satriadi Benggawan, Direktur Utama PT Dwisaha Selaras Abadi Wahyu Laksono, dan Komisaris PT Dwisaha Selaras Abadi Budi Santoso. Mereka didakwa menyebabkan kerugian negara mencapai Rp194,6 miliar serta dijerat pula dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).
Pelaksana Harian (Plh) Kasi Penkum Kejati Bengkulu, Deni Agustian, menyebut berkas perkara sudah lengkap dan dilimpahkan ke pengadilan.
BACA JUGA:Pemkab Seluma Gelar TC Tahap I Siapkan Kafilah MTQ Bengkulu
BACA JUGA:Maksimalkan Pelayanan, Ini Update Sistem SKCK Terbaru
Sebanyak sembilan jaksa ditunjuk untuk menangani perkara ini. “Ya, kemarin sudah kita limpahkan dan jadwal sidang dakwaan juga sudah keluar,” kata Deni, Senin 3 November 2025.
Sementara penasihat hukum para tersangka, Suhartono, membenarkan berkas sudah diterima pengadilan dan para kliennya siap menghadapi proses hukum.
“Untuk Tipikor Mega Mall, kami siap jalani sidang 10 November mendatang dan siap buka-bukaan di fakta persidangan ini,” ujar Suhartono.
Ia menambahkan, pihaknya telah menyiapkan sejumlah bahan dan berencana menghadirkan saksi yang meringankan.
BACA JUGA:PMI Ilegal Asal Seluma Sakit Meningitis di Jepang, Keluarga Minta Bantuan Pemerintah
BACA JUGA: Pemprov Bengkulu Kebut Serapan Anggaran
Kasus ini bermula dari perubahan status lahan Mega Mall dan PTM Bengkulu pada 2004 yang semula berstatus Hak Pengelolaan Lahan (HPL) menjadi Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB). SHGB tersebut kemudian dipecah menjadi dua dan diagunkan ke bank berbeda. Dari hasil penyidikan, Kejati Bengkulu menemukan adanya dua tindak pidana, yakni korupsi dan pencucian uang, dengan total kerugian negara Rp194,6 miliar.