
JAKARTA, KORANRB.ID – Sejumlah akademisi dan aktivis mengkritik dibatalkannya revisi pasal 8 Peraturan KPU nomo 10 tahun 2023 yang memangkas keterwakilan perempuan. Keputusan itu dinilai sebagai bentuk lemahnya independensinya penyelenggara pemilu.
Sebagaimana diketahui, sebelumnya KPU sepakat untuk mengembalikan norma tersebut ke aturan lama setelah panen kritik. Namun, sembilan fraksi di DPR menolak rencana tersebut dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) di Komisi II DPRI.
Pakar kepemiluan yang juga Guru Besar Universitas Airlanggara Ramlan Surbakti mengatakan, sejak awal dikeluarkan, norma tersebut sudah terkesan janggal. Sebab, saat tidak ada perubahan di level Undang-undang Pemilu, aturan di tingkat teknisnya malah berubah.
BACA JUGA: Politik Sebagai Sarana Kepentingan Umat
Di sisi lain, penyelenggara juga tidak mempunyai penjelasan substansial dibalik perubahan tersebut. “Kalau KPU profesional, setiap perubahan harus berdasarkan evaluasi,” ujarnya dalam konferensi pers kemarin.
Situasi itu, membuatnya sulit untuk tidak berprasangka, bahwa sejak awal norma itu memang pesanan. Indikasi itu, kian kuat setelah partai mendukung aturan baru dan menolak rencana revisi.