Bangkitkan Budaya Berpantun, Buku 500 Pantun Gaul Melayu Bengkulu Diluncurkan

LAUNCING: Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Bengkulu dan M. Ichwan Anwar yang menekan tombol saat launching buku 500 Pantun Gaul Melayu Bengkulu. RENO DWI PRANOTO/RB--

KORANRB.ID – Launching dan Bedah Buku 500 Pantun Gaul Melayu Bengkulu berlangsung di Hotel Santika Kota Bengkulu kemarin, 18 September 2024.

Kegiatan tersebut diselenggarakan Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah VII Bengkulu-Lampung yang bersinergi dengan penulis M. Ichwan Anwar.

Kegiatan ini juga hadiri berbagai kepala Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan lapisan masyarakat lainnya, seperti turut hadir Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DPK) Provinsi Bengkulu, H. Meri Sasdi, M.Pd yang secara simbolis melauncing buku 500 Pantun Gaul Melayu Bengkulu tersebut. 

“Menikatkan indeks literasi masyarakat juga mengenalkan kearifan Bengkulu sekaligus buku ini membangkitkan budaya berpantun masyarakat Bengkulu,” sampai Kepala DPK Provinsi Bengkulu, H. Meri Sasdi, M.Pd saat diwawancarai RB.

BACA JUGA:PW ISPI Bengkulu Periode 2021-2026 Resmi Dilantik, Gubernur: Gandeng PDHI Bangun Desa Binaan

BACA JUGA:3.516 Pelamar CPNS Pemprov Bengkulu yang Memenuhi Syarat Masih Diverifikasi

Turut hadir juga, Tokoh Adat dan Budaya Bengkulu, Ujang Syamsul kemudian Kepala Kantor Bahasa Provinsi Bengkulu, Dwi lelly Sukmawati S.Pd dan Guru Besar FKIP Unib Prof Dr. Drs Sarwit Sarwono M.Hum, yang mana ketiganya menjadi narasumber dalam bedah buku tersebut.

Penulis Buku M. Ichwan Anwar menjelaskan tradisi pantun atau berpantun sudah dikenal masyarakat Melayu Bengkulu sejak dahulu. 

Pantun hadir pada acara-acara sakral, seperti prosesi pernikahan, ritual adat dan penyambutan tamu-tamu penting.

Namun, seiring waktu pantun mulai tergerus, tradisi yang sarat makna dan filosofi ini mulai jarang digunakan. 

BACA JUGA:Janji Lestarikan Adat Budaya, Dani Sukatno Banjir Dukungan

BACA JUGA:Terbaik Se Sumatera, Urutan 2 Nasional, Ini 3 Prestasi Pemprov Bengkulu hingga Dapat Penghargaan

Beberapa faktor melatarbelakanginya seperti kurangnya pengetahuan dan pengenalan tentang pantun serta moderenisasi yang membuat tradisi dan komunikasi lewat pantun tidak menarik lagi. 

“Berakat dari kekhawatiran terhadap ironi berpantun yang sudah tergerus oleh modernisasi,” tutur Ichwan.

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan