KORANRB.ID - Dalam sebuah negara yang mengklaim dirinya sebagai demokrasi, keluhan rakyat dan kebebasan berpendapat adalah dua elemen penting yang menunjukkan adanya dinamika sosial-politik yang sehat.
Namun, apa yang terjadi jika suara rakyat tak lagi terdengar dan penguasa menutup telinga terhadap kritik? Kondisi seperti ini bukan hanya tanda bahaya, tetapi juga awal dari keruntuhan moral dan integritas sebuah negara.
Rakyat yang Tak Lagi Mengeluh: Tanda Bahaya yang Tak Boleh Diabaikan
Keluhan rakyat adalah refleksi dari ketidakpuasan terhadap kebijakan atau tindakan penguasa.
Dalam sistem yang sehat, keluhan ini akan menjadi masukan bagi pemerintah untuk memperbaiki kebijakan atau bahkan mengganti kebijakan yang tidak efektif.
Namun, ketika rakyat tak lagi mengeluh, bisa jadi mereka merasa bahwa mengeluh atau bersuara tidak akan mengubah apapun.
BACA JUGA:Helmi Hasan dan Mian Terima B1 KWK Partai Gerindra
Ini adalah tanda bahwa rakyat mulai putus asa dan kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Kondisi ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti represi terhadap kebebasan berpendapat, pengabaian suara-suara kritis, atau bahkan rasa takut yang mendarah daging di masyarakat.
Ketika rakyat tidak lagi merasa aman untuk menyuarakan keluhan, ini menandakan adanya distorsi dalam sistem demokrasi yang seharusnya mendengarkan dan melindungi hak-hak setiap warga negara.
Omongan Penguasa yang Tak Boleh Dibantah: Kebenaran yang Terancam
Dalam iklim politik yang sehat, penguasa harus terbuka terhadap kritik dan masukan. Namun, ketika omongan penguasa tidak boleh dibantah, ini adalah tanda bahwa otoritarianisme sedang tumbuh.
Penguasa yang tak boleh dikritik cenderung menutup diri dari kenyataan dan membangun narasi tunggal yang dianggap sebagai kebenaran mutlak.
BACA JUGA:KPU Tetapkan Anggota DPRD Bengkulu Tengah Terpilih, 11 Wajah Lama, 14 Wajah Baru, Ini Daftar Namanya