Dianggap Membuka Potensi Pelanggaran Pemilu, Pemerhati Pemilu Soroti PP No.53/2023
Ray Rangkuti--istimewa
JAKARTA, KORANRB.ID - Pengamat Politik yang juga Direktur Eksekutif LIMA, Ray Rangkuti menilai, semua bentuk pelanggaran harus diadukan ke Bawaslu, meski belum tentu akan ditindak lanjuti.
“Diadukan saja ke Bawaslu, meski saya ragu Bawaslu mau menyelesaikan. Tetapi paling tidak tercatat di Bawaslu. Kita punya memori bahwa peristiwa ini dicatatkan di Bawaslu. Meski saya pesimis Bawaslu punya keinginan untuk mengusut berbagai temuan yang disebut,” kata Ray, Jumat (19/1).
Ragam bentuk pelanggarannya begitu banyak, dan hal ini sangat menyedihkan. Mulai dari perilaku tidak netral ASN, bansos yang dipolitisasi, termasuk laporan soal hambatan yang dialami kandidat lain.
BACA JUGA:Produksi Menurun, Ini Harga Tertinggi TBS Kelapa Sawit
Begitu pun dengan keberadaan PP N0.52/2023, salah satunya tentang aturan menteri, anggota legislatif hingga kepala daerah yang tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) dalam pemilihan presiden (pilpres) yang diteken November lalu. Hal ini semakin mengancam demokrasi, membuka ruang-ruang pelanggaran.
Tanda-tanda demokrasi sakit sangat terlihat jelang Pemilu yang akan diselenggarakan kurang dari satu bulan lagi. Indikator pemberantasan korupsi, kebebasan berpendapat, dan partisipasi publik menurun,sementara aksi nepotisme meroket.
“Nah, kita mau mempertahankan (demokrasi) atau set back?" tandas Ray.
Calon Presiden (Capres) Nomor Urut 3 Ganjar Pranowo menilai aturan PP No.53/2023 berisiko terkait kemungkinan adanya penyalahgunaan kekuasaan dan kemunduran demokrasi.
BACA JUGA:8.808 ODGJ Ikut Nyoblos di Pemilu 2024
“(Dengan) ketentuannya tidak mundur, maka kita akan memasuki situasi yang penuh risiko. Rasanya ketentuan tidak harus mundur itu sedang diambil sebuah risiko,” kata Ganjar kemarin.
Menurut dia, pemberlakuan aturan tersebut dianggap dapat membuat makna pemilu yang luber-jurdil (langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil) berpotensi tidak terealisasi karena adanya kemungkinan penyalahgunaan kekuasaan. Begitu pula dengan kualitas demokrasi yang dipastikan akan mundur.
Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI) Jeirry Sumampow menilai keberadaan Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 membuka potensi untuk penyalahgunaan kekuasaan. Aturan itu menyatakan menteri, DPR, hingga kepala daerah tidak wajib mundur dari jabatan jika maju sebagai capres dan cawapres.
"Kalau saya kira memang itu berpotensi untuk terjadinya penyalahgunaan kekuasaan. Demokrasi kita ini kan sedang berkembang dan kelihatannya mekanisme-mekanisme demokrasi itu sekarang digunakan oleh para elite untuk kepentingan dirinya. Kan situasi kita sekarang begitu," ungkapnya.