Di Majelis Umum PBB, Mayoritas Negara Serukan Gencatan Senjata
--
WASHINGTON DC - Majelis Umum PBB (UNGA) meloloskan resolusi yang mengecam serangan Israel di Gaza. Resolusi itu diajukan oleh 50 negara. Di antaranya, Turki, Mesir, Jordania, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab (UEA). Sebanyak 121 negara mendukung, 14 negara menolak, dan 44 negara lainnya memilih abstain.
Negara-negara yang menolak resolusi antara lain Amerika Serikat (AS), Israel, Austria, Kroasia, Ceko, Fiji, Guatemala, Hungaria, Kepulauan Marshall, Mikronesia, Nauru, Papua Nugini, Paraguay dan Tonga. Dari daftar tersebut, selain AS, mayoritas penolak resolusi itu negara kecil.
BACA JUGA:Bela Palestina, Puluhan Massa Sholat Ghaib Hingga Galang Dana
Adapun negara sekutu-sekutu AS, rata-rata memilih abstain. Bahkan, tidak sedikit yang mendukung. Salah satu yang memberi dukungan pada resolusi adalah Perancis. ’’Amerika pada akhirnya terlihat sangat terisolasi setelah hanya 12 negara yang bergabung dengan Washington dan Israel di sidang majelis umum PBB untuk menentang mosi yang menyerukan gencatan senjata kemanusiaan berkelanjutan yang mengarah pada penghentian permusuhan,’’ bunyi tulisan editor diplomatik The Guardian Patrick Wintour.
BACA JUGA: Israel Bom 26 Masjid dan 1 Gereja di Gaza
Dia menegaskan, hasil voting menunjukkan terbatasnya dukungan langsung terhadap AS. Bahkan Perancis, Spanyol serta Inggris menolak untuk bergabung dengan AS dalam memberikan suara menentang resolusi tersebut. Negara-negara Eropa terbelah. Sebagian mendukung, sisanya memilih abstain.
Australia, yang memilih abstain mendapatkan kecaman di negaranya sendiri. Pasalnya, dinilai tidak mendukung gencatan senjata. Meskipun tidak mengikat, namun resolusi itu memiliki bobot politik lantaran menyoroti tingkat isolasi internasional terhadap Israel dan AS.
BACA JUGA:Bom Israel 6 Hari ke Gaza Setara Bom Setahun AS di Afghanistan
Dalam resolusi yang bertajuk Perlindungan Warga Sipil dan Penegakan Kewajiban Hukum dan Kemanusiaan tersebut, UNGA menuntut agar semua pihak segera dan sepenuhnya mematuhi kewajiban berdasarkan hukum kemanusiaan dan HAM internasional. Khususnya yang berkaitan dengan perlindungan warga sipil dan objek yang berkaitan dengan penduduk sipil.
Mereka mendesak agar ada gencatan senjata atas nama kemanusiaan.
Resolusi tersebut juga mendesak perlindungan terhadap personel kemanusiaan, orang-orang yang tidak dapat berperang, serta fasilitas dan aset kemanusiaan. Lalu, memfasilitasi akses kemanusiaan terhadap pasokan dan layanan penting yang menjangkau semua warga sipil yang membutuhkan di Jalur Gaza.
BACA JUGA:Capaian Target PAD Disdagkop Diatas 50 Persen
Mereka juga menyerukan pembatalan perintah Israel agar semua warga sipil Palestina, staf PBB, dan pekerja kemanusiaan hengkang dari area utara Jalur Gaza dan pindah ke selatan. Selain itu, pembebasan secepatnya dan tanpa syarat atas warga sipil yang ditawan secara ilegal. Yang terpenting, resolusi ini kembali menegaskan bahwa solusi yang adil dan langgeng dalam konflik Israel-Palestina hanya dapat dicapai melalui jalur damai berdasarkan solusi dua negara.
Sebetulnya, Kanada sempat mengajukan amandemen resolusi tersebut. Sebab, tidak ada kalimat mengutuk serangan Hamas dan penyanderaan yang mereka lakukan. Namun, amandemen itu gagal karena tidak didukung dua pertiga anggota UNGA. Tidak seperti di Dewan Keamanan (DK) PBB, tidak ada veto di UNGA.
BACA JUGA:Anggaran Kurang, Lelang JPTP Ditunda
Tak ayal, resolusi itu membuat pihak Israel geram. ’’Kami langsung menolak seruan tercela Majelis Umum PBB untuk melakukan gencatan senjata. Israel bermaksud melenyapkan Hamas seperti halnya dunia menghadapi Nazi dan ISIS,’’ ujar Menteri Luar Negeri (Menlu) Israel Eli Cohen setelah hasil resolusi keluar seperti dikutip Palestine Chronicle.
Setali tiga uang, Duta Besar Israel untuk PBB Gilad Erdan mengatakan, gencatan senjata berarti memberi Hamas waktu untuk mempersenjatai diri lagi. Menurut dia, voting itu tidak dimaksudkan untuk membawa perdamaian. Namun, untuk mengikat tangan Israel.
Sementara itu, hingga kemarin (29/10) serangan Israel telah merenggut lebih dari 8 ribu penduduk Palestina. ’’Jika Anda tidak menghentikan (perang) untuk semua orang yang terbunuh, hentikanlah untuk semua orang yang nyawanya masih bisa kita selamatkan,’’ ujar Pengamat Tetap Palestina di PBB Riyad Mansour. (sha/hud)