KORANRB.ID - Istilah "silent majority" pertama kali populer digunakan dalam konteks politik Amerika Serikat oleh Presiden Richard Nixon pada tahun 1969.
Namun, konsep ini memiliki relevansi yang signifikan dalam berbagai sistem politik, termasuk di Indonesia, khususnya dalam konteks Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada).
Dalam Pilkada, "silent majority" mengacu pada kelompok pemilih yang jumlahnya signifikan, tetapi cenderung tidak vokal atau tidak terlihat aktif dalam diskusi politik atau kampanye.
Meskipun mereka tidak banyak bersuara, pilihan mereka pada hari pemungutan suara bisa sangat menentukan hasil akhir.
BACA JUGA:Tips Membersihkan Wajah, dengan Teknik Doble Cleansing
BACA JUGA:5 Provinsi yang Memiliki Tenaga Kesehatan Terbanyak di Indonesia
"Silent majority" secara harfiah berarti "mayoritas diam." Istilah ini merujuk pada sekelompok besar orang dalam masyarakat yang mungkin tidak secara terbuka menyatakan pandangan politik mereka atau terlibat aktif dalam kampanye, tetapi memiliki preferensi yang kuat yang hanya diungkapkan saat pemungutan suara. Karakteristik utama dari "silent majority" meliputi:
1. Non-partisipatif dalam Kampanye Terbuka
Anggota dari "silent majority" cenderung tidak terlibat dalam kegiatan kampanye atau debat politik secara publik.
Mereka mungkin merasa apatis, skeptis terhadap proses politik, atau memilih untuk tidak mengungkapkan pandangan mereka karena alasan privasi atau kekhawatiran akan stigma sosial.
2. Pengambilan Keputusan Tersembunyi
Meskipun tidak vokal, mereka tetap mengamati perkembangan politik dan membuat keputusan berdasarkan berbagai faktor, seperti kinerja calon, platform kampanye, atau isu-isu lokal yang dianggap penting.
BACA JUGA:Ikan Purba Bersayap! Berikut 5 Fakta Unik Hiu Elang
BACA JUGA:Pasangan Ariyono - Harialyyanto Lolos Verfak di Pilwakot Bengkulu, Ariyono: Kami Siap Bertarung
3. Pengaruh Signifikan pada Hasil Pemilu