3 Kali Pertemuan Tak Temukan Solusi, Pemprov Bengkulu Arahkan Masyarakat Tempuh Jalur Hukum

Asisten II Setda Provinsi Bengkulu, Raden Ahmad Denni--ABDI/RB

BENGKULU, KORANRB.ID – Setelah 3 kali Pemprov Bengkulu memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dan perusahaan terkait konflik agraria, namun tidak temukan solusi.

Untuk it Pemprov Bengkulu mengarahkan masyarakat untuk tempuh jalur hukum untuk menemukan penyelesaian terbaik dari konflik agraria tersebut.

Diketahui, konflik agraria ini melibatkan masyarakat dan perusahaan di Kabupaten Mukomuko dan Kabupaten Bengkulu Utara. 

Adapun 3 perusahaan tersebut, yakni PT. Bima Bumi Sejahtera (BBS) di Mukomuko, PT. Bimas Raya Sawitindo (BRS), dan PT Purna Wira Darma Upaya (PDU) di Bengkulu Utara. 

BACA JUGA:Tingkatkan Kapasitas Pemerintah Daerah untuk Persiapan Penerbitan Sukuk Daerah

Diungkapkan, Asisten II Setda Provinsi Bengkulu, Raden Ahmad Denni bahwa pada rapat-rapat telah diadakan sebanyak 3 kali, pertemuan-pertemuan tersebut belum membuahkan hasil yang memuaskan karena kedua belah pihak tetap teguh pada pendirian masing-masing.

Lanjut, Denni, diketahui Pemprov Bengkulu telah menjalankan tugasnya sesuai dengan peraturan yang ada, yaitu hanya berperan sebagai fasilitator dalam konflik agraria yang melibatkan 2 kabupaten. 

“Tidak menemui titik terang, jadi kita arahkan masyarakat untuk menempu jalur hukum saja.

Kami Pemprov, berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014, kalau konflik terjadi di dalam satu kabupaten, maka kewenangannya ada di pemerintah kabupaten. Provinsi hanya memfasilitasi penyelesaian,” sampai Denni, Senin, 21 Oktober 2024.

BACA JUGA:Penerima TPG dan Tamsil Triwulan III Bakal Bertambah, Ini Penjelasannya

Denni juga menjelaskan, bahwa rapat yang diadakan tersebut merupakan bentuk akomodasi atas permintaan masyarakat yang merasa dirugikan oleh aktivitas perusahaan perkebunan.

“Kita mengakomodir permintaan masyarakat dan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat dengan pihak ATR/BPN serta perwakilan perusahaan,” ungkap Denni.

Kendati telah difasilitasi, hingga saat ini, baik masyarakat maupun pihak perusahaan belum mencapai kesepakatan.

Masyarakat, khususnya petani yang terdampak, menuntut agar perusahaan perkebunan tersebut dibubarkan, dengan dalih bahwa masyarakat memiliki bukti kuat terkait kepemilikan lahan yang diklaim oleh perusahaan. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan