Hal tersebut menurutnya menjadi kemunduran demokrasi dan menunjukkan ketidak terbukaan pemerintah terhadap partisipasi publik dalam mengawasi kebijakan RTRW.
"Harusnya perubahan tata ruang di Bengkulu juga belum sepenuhnya mempertimbangkan aspek risiko bencana," ucapnya.
Padahal, Bengkulu merupakan wilayah dengan tingkat risiko tinggi terhadap ancaman bencana seperti gempa bumi, tsunami, gunung api, dan banjir.
"Tidak hanya itu, juga bencana tanah longsor, kekeringan, cuaca ekstrem, gelombang ekstrim dan abrasi, serta kebakaran hutan dan lahan," ujarnya.
BACA JUGA:Lebihi Waktu Berjualan, PKL Jalan Kedondong Diancam Tipiring
Terdapat tiga bencana utama di Bengkulu, berdasarkan data Bencana Indonesia tahun 2022.
Ghifar menjelaskan, di diantaranya banjir, tanah longsor, dan puting beliung.
Bencana yang terjadi beberapa tahun terakhir di Bengkulu, termasuk terjadi di Kabupaten Lebong merupakan dampak dari salah urus tata kelola sumber daya alam oleh pemerintah daerah.
"Contohnya banjir di kota dan kabupaten di Provinsi Bengkulu tahun 2019 dan banjir di Kabupaten Lebong, Kota Bengkulu, Kabupaten Seluma tahun 2024," ungkapnya.
BACA JUGA:Penduduk Meningkat, DPT Pilbup Bengkulu Utara Bakal Bertambah 3.159 Pemilih
Melalui aksi tersebut, pihaknya mendesak pemerintah daerah untuk meninjau kembali RTRW 2023-2042 dan melibatkan masyarakat secara bermakna dalam proses penyusunannya.
Bagi Ghifar pentingnya untuk mempertimbangkan aspek risiko bencana dalam tata ruang wilayah.
"RTRW harus berpihak pada rakyat dan kelestarian alam. Jangan hanya menjadi alat bagi para investor untuk mengeruk keuntungan," tegasnya.
Tidak hanya itu, demo itu juga menyuarakan keresahan masyarakat adat di beberapa kabupaten di Bengkulu. Seperti Hutan Adat Malin Deman Mukomuko, Hutan Serawai Pasar Seluma, Hutan Adat di Rejang Lebong dan beberapa hutan adat lainnya.
BACA JUGA:Penduduk Meningkat, DPT Pilbup Bengkulu Utara Bakal Bertambah 3.159 Pemilih
Untuk itu, pihaknya menuntut implementasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No.35 Tahun 2012 yang menegaskan bahwa hutan adat bukan hutan negara.