Dari catatan Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA), sejak abad ke 15 penduduk asli di sana sudah mendiami wilayah perbukitan yang terjal.
Ini dilakukan, sebagai upaya pertahanan diri dari penduduk luar pulau. Era ini, pelaut-pelaut eropa mulau dari Marco polo, sampai penjelajah ulung dari tanah Arab Ibnu Batutah disebut-sebut sempat menginjakkan kakinya di Pulau Engano.
Memasuki era kedatangan bangsa asing, penjajahan Belanda hingga ratusan tahun tak ada perubahan berarti di Pulau Enggano. Hingga Indonesia merdeka,
Pulau Enggano berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, secara administratif merupakan salah satu kecamatan bagian pemerintahan dari 13 kecamatan perwakilan di Kabupaten Bengkulu Utara Provinsi Bengkulu.
BACA JUGA:Optimis Pasti Diusung di Pilgub Bengkulu, Meriani Kembalikan Formulir Cagub ke 2 Parpol
Dari sini pulau Pulau Enggano menjadi sebuah kecamatan, berisi 6 desa administratif yakni, Desa Banjarsari, Desa Meok, Desa Apoho, Desa Malakoni, Desa Kaana, dan Desa Kahyapu.
Sejarah kelam penduduk Pulau Enggano tercatat 1975-1977. BWRA mencatat, terjadi kelaparan dialami penduduk Enggano. Penduduk Enggano, hanya bisa mengkonsumsi bubur kelapa lantaran ta ada kapal bisa merapat ke dermaga.
Sejarah kelam Pulau Enggano, terjadinya kebakaran hutan dan lahan masyarakat seluas 150 ha antara tahun 1999- 2000 yang diindikasikan adanya upaya pembangunan sarana fisik.
Pada rentang tahun ini juga masuk PT. Enggano Dipa Persada dalam rangka program pembangunan lapangan terbang oleh pemerintah.
Di awal 2000 an, ini pula hasil kebun tanaman keras turun drastis dan terjadinya perubahan musim berbuah serta kualitas buah yang dihasilkan seperti melinjo, mangga, dan buah lain sangat rendah.
Pada masa ini juga mulai maraknya pengeboman dan potasium yang mengakibatkan populasi ikan dan hasil laut lainnya mulai berkurang.
Perkembangan selanjutnya adanya program transmigrasi yang dilakukan oleh pemerintah sebanyak 200 KK (100 KK masyarakat lokal dan 100 KK TSM Nelayan) dilakukan.
BACA JUGA:Optimis Pasti Diusung di Pilgub Bengkulu, Meriani Kembalikan Formulir Cagub ke 2 Parpol
Hal ini berdampak pada perubahan status jalan dari jalan desa menjadi jalan kecamatan dengan lebar 8 meter dan baru akan dilakukan pengerasan tahun 2003.
Periode perkembangan Masyarakat Hukum Adat Enggano ini kemudian mengalami puncaknya setelah terjadi berbagai konflik terkait pengelolaan lahan, hutan, dan dampak kerusakan wilayah adat.
Hal ini tentunya diawali dari perubahan status dan degradasi sistem nilai pada masyarakat. Masyarakat adat Enggano kemudian mengefektifkan fungsi wilayah adat yang ada dengan menerapkan adat istiadat yang mereka miliki.