Mereka lebih cenderung menikah dengan sesama orang Eropa atau membawa istri dari Eropa.
BACA JUGA:Simak! Ini Arti 7 Lomba yang Sering Digelar Saat 17 Agustus
BACA JUGA:Simak! Ini Arti 7 Lomba yang Sering Digelar Saat 17 Agustus
3. Pemerintah Belanda tidak mendorong pernikahan campuran (miscegenation) antara orang Eropa dan pribumi.
Meskipun pernikahan campuran tidak dilarang secara hukum, ada banyak rintangan sosial dan administratif yang membuatnya sulit.
Selain itu, anak-anak hasil pernikahan campuran sering kali tidak sepenuhnya diakui sebagai bagian dari komunitas Eropa, yang membuat kehidupan mereka di masyarakat kolonial lebih rumit.
4. Pemikiran rasial yang dianut oleh Belanda selama periode kolonial juga memainkan peran penting.
Ada anggapan bahwa ras Eropa harus tetap “murni,” dan pernikahan campuran dipandang sebagai ancaman terhadap kemurnian ini.
Selain itu, perbedaan budaya yang signifikan antara orang Eropa dan pribumi juga menghambat terjadinya asimilasi.
Budaya, agama, dan nilai-nilai yang berbeda sering kali menjadi penghalang bagi pembentukan keluarga campuran.
5. Populasi Eropa di Indonesia sebagian besar terbatas pada kota-kota besar seperti Batavia (sekarang Jakarta), Surabaya, dan Semarang.
Di luar kota-kota ini, populasi Eropa sangat kecil, dan interaksi mereka dengan penduduk pribumi juga terbatas. Karena itu, kesempatan untuk membentuk hubungan antar-ras sangat terbatas.
6. Agama juga memainkan peran penting dalam mencegah terjadinya pernikahan campuran.
Sebagian besar orang Eropa yang tinggal di Hindia Belanda adalah Kristen, sementara mayoritas penduduk pribumi adalah Muslim, Hindu, atau Buddha.
Perbedaan agama ini menambah lapisan kompleksitas lain yang membuat pernikahan campuran kurang umum.
7. Banyak orang Eropa yang datang ke Indonesia hanya tinggal sementara sebagai bagian dari tugas kerja atau perdagangan.