Mereka sering kali melihat masa tinggal mereka di Hindia Belanda sebagai sementara dan berencana untuk kembali ke Eropa.
Ini berbeda dengan koloni lain di mana penduduk Eropa lebih cenderung menetap secara permanen dan membentuk keluarga dengan penduduk lokal.
8. Setelah Indonesia merdeka pada tahun 1945, banyak orang Eropa kembali ke Belanda atau negara-negara lain di Eropa.
Hal ini mengurangi populasi blasteran di Indonesia karena keluarga campuran sering kali memilih untuk tinggal di Belanda atau negara-negara Barat lainnya, di mana mereka merasa lebih diterima atau memiliki akses yang lebih baik ke pendidikan dan kesempatan kerja.
9. Jika dibandingkan dengan koloni lain seperti Brasil atau Amerika Latin, di mana percampuran antar-ras terjadi secara lebih intensif, Indonesia memiliki konteks sejarah dan sosial yang berbeda.
Di Amerika Latin, penaklukan Spanyol dan Portugal mendorong percampuran ras yang lebih besar, sebagian karena kebijakan yang lebih terbuka terhadap pernikahan campuran dan kurangnya populasi perempuan Eropa di awal kolonisasi.
Kesimpulannya, meskipun Indonesia dijajah Belanda selama ratusan tahun, jumlah penduduk blasteran tetap relatif sedikit.
Hal ini disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk kebijakan sosial yang eksklusif, pemikiran rasial yang dominan, perbedaan budaya dan agama, serta urbanisasi yang terbatas.
Belanda tidak mendorong percampuran ras dan lebih memilih untuk menjaga jarak sosial antara orang Eropa dan pribumi.
Selain itu, banyak orang Eropa yang datang ke Indonesia hanya untuk tinggal sementara, tanpa niat untuk menetap secara permanen atau membentuk keluarga dengan penduduk lokal.
Semua faktor ini secara bersama-sama menciptakan lingkungan yang tidak kondusif untuk terjadinya percampuran ras yang signifikan di Indonesia, berbeda dengan yang terjadi di beberapa koloni lainnya.
Akibatnya, meskipun Indonesia dijajah dalam waktu yang lama, jumlah blasteran tetap terbatas dan tidak sebanding dengan lamanya masa penjajahan.