Mengenal Asal Muasal Negara Sekuler yang Memisahkan Urusan Agama dan Pemerintahan

Sabtu 19 Oct 2024 - 11:08 WIB
Reporter : Arie Saputra Wijaya
Editor : Sumarlin

BACA JUGA:Ternyata Ini 10 Penyebab Bangun Tidur Tenggorokan Terasa Kering

Gerakan Pencerahan (Enlightenment) pada abad ke-17 dan ke-18 adalah periode kunci yang mempercepat kelahiran konsep negara sekuler. 

Pemikir-pemikir Pencerahan seperti John Locke, Voltaire, Montesquieu, dan Jean-Jacques Rousseau mulai mempertanyakan kekuasaan tradisional, termasuk peran agama dalam pemerintahan. Mereka mempromosikan kebebasan individu, kesetaraan, hak asasi manusia, serta penegakan hukum yang didasarkan pada akal dan bukti empiris daripada otoritas agama.

John Locke, seorang filsuf Inggris, berpendapat bahwa pemerintahan seharusnya dibatasi pada urusan sipil dan tidak ikut campur dalam keyakinan agama warga negara. 

Dalam Letter Concerning Toleration (1689), Locke menyerukan toleransi beragama dan pemisahan antara gereja dan negara. Pandangannya bahwa hak-hak sipil dan agama adalah urusan yang berbeda menjadi salah satu landasan penting dalam pemikiran sekuler modern.

Selain Locke, Voltaire adalah salah satu tokoh Pencerahan yang kritis terhadap campur tangan agama dalam urusan negara. Ia sering mengecam Gereja Katolik karena korupsi dan kekuasaan politiknya yang besar. 

Voltaire adalah pendukung kebebasan beragama dan menentang dogmatisme yang membelenggu kebebasan berpikir.

BACA JUGA:Tidak Bisa Terbang dengan Baik! Berikut 6 Fakta Unik Pegar Emas

BACA JUGA:144 Mahasiswa FKIP UMB Ikut Yudisium Sarjana dan Pascasarjana

Revolusi Amerika (1775–1783) dan Revolusi Prancis (1789–1799) adalah dua peristiwa penting yang mulai mewujudkan gagasan negara sekuler dalam praktik politik. 

Dalam konstitusi Amerika Serikat, amandemen pertama menyatakan bahwa Kongres tidak boleh membuat undang-undang yang mendukung agama tertentu atau melarang kebebasan beragama. Ini merupakan langkah awal dalam mendirikan negara yang memisahkan urusan keagamaan dari urusan pemerintahan.

Sementara itu, Revolusi Prancis membawa perubahan yang lebih radikal. Pada awal revolusi, salah satu agenda utama adalah melawan kekuasaan Gereja Katolik yang mendominasi masyarakat Prancis.

Revolusioner Prancis mengambil tindakan drastis dengan menasionalisasi properti gereja, menghapus hak istimewa agama, dan bahkan mendirikan Kultus Akal (Cult of Reason), yang menggantikan agama tradisional dengan ide-ide rasional. Meskipun pendekatan Prancis sangat agresif, revolusi ini menetapkan preseden kuat bagi sekularisme di Eropa.

Pada abad ke-19 dan ke-20, gagasan tentang negara sekuler semakin menguat dan diadopsi oleh berbagai negara. Salah satu negara yang terkenal karena sekularismenya adalah Prancis, yang memperkuat prinsip ini melalui Laïcité, sebuah konsep yang menekankan pemisahan antara agama dan negara. 

Laïcité menjadi bagian dari konstitusi Prancis pada tahun 1905, dan hingga saat ini, Prancis secara ketat memisahkan urusan keagamaan dari urusan publik.

Di negara-negara lain, seperti Turki, Mustafa Kemal Ataturk memainkan peran penting dalam mendirikan negara sekuler modern setelah jatuhnya Kesultanan Utsmaniyah. 

Kategori :