BENGKULU, KORANRB.ID - Warga Kota Bengkulu yang memiliki lahan di kawasan Hutan Cagar Alam Danau Dusun Besar mengeluhkan tidak bisa melakukan pemanen sawit yang ada di area tersebut.
Hal itu dikarena adanya larangan karena wilayah tersebut sudah masuk kawasan Cagar Alam. Sehingga Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) menyetop aktivitas warga, termasuk dengan pemanfaatan lahan untuk pertanian. Hal ini disampaikan mereka dalam audiensi bersama Ketua Komisi I DPRD Provinsi Bengkulu, Dempo Xler, S.IP, M.AP.
BACA JUGA:PAD Retribusi Sampah Cuma Rp 1 Miliar, Perusahaan Banyak Menunggak
Audiensi ini juga dihadiri oleh Lurah, BPN Kota Bengkulu, Biro Hukum, Biro Pemerintahan, dan Perwakilan BKSDA untuk memusyawarahkan aduan masyarakat terkait lahan yang terindikasi masuk kawasan cagar alam.
"Beberapa versi mengatakan, lahan tersebut memang milik warga sejak dulu sebelum cagar alam ada. Versi ke dua ada perluasan hutan cagar alam pemerintah di tahun 1985 dan 1992 sehingga mengakibatkan lahan-lahan tersebut termasuk menjadi lahan kawasan cagar alam," terang Dempo, Selasa (19/12).
Hal tersebutlah, menurutnya harus diperjuangkan karena warga sudah terlanjur berkeben di area itu. Berdasarkan hasil rapat, Dempo mengatakan ada beberapa opsi yang perlu dilakukan. Diantaranya, meminta BKSDA dan pemerintahan untuk mengawal warga yang terlanjur memiliki lahan untuk tetap diperbolehkan panen sampai ada ketetapan resmi lahan, bagaimana statusnya.
BACA JUGA:Segmen Entry Level Jadi Andalan Produsen Ponsel
"Itu dipastika final seperti apa. Menjadi lahan cagar alam atau menjadi milik warga secara inclub, atau tidak," ujarnya.
Berdasarkan hasil rapat tersebut, Dempo menegaskan agar BKSDA tidak melarang warga memanen sawit tersebut dengan catatan tidak membuka lahan baru berupa berita acara. Di sisi lain, warga juga tidak diperbolehkan membakar dan tidak merusak hutan cagar alam.
"Warga diperbolehkan memanen sampai daur ulang. Nanti juga akan dilakukan pendataan sesuai dengan luas tanah yang dimilikinya, untuk diluaskan persilnya dan dilakukan pengajuan ke pusat," ujarnya.
Selain itu, opsi lain yang diberikan yakni dengan diuruskan menjadi kelompok perhutanan sosial, agar masyarakat mendapat bimbingan untuk menanam tanaman yang berhasil secara ekonomi, tetapi tidak merusak hutan. "Misalnya, pohon-pohonan, buah-bulanan, dan itu dapat diakses masyarakat menjadi ekonomi berbasis hijau. Tanpa harus sawit," tutupnya. (bil)