JAKARTA, KORANRB.ID – Setahun pasca tragedi kasus gagal ginjal akut progresif atipikal (GGAPA), pemerintah akhirnya memberi lampu hijau untuk penyaluran bantuan berupa uang tunai kepada korban. Bantuan akan disalurkan melalui Kementerian Sosial (Kemensos).
Menteri Sosial (Mensos) Tri Rismaharini mengungkapkan, pemerintah sudah menggelar rapat soal penyaluran bantuan untuk korban GGAPA. Yang mana, pihaknya ditunjuk untuk menyalurkan dana tersebut. BACA JUGA:Lunas Jamsostek, Baru Proyek Dilunasi Mendapat penunjukan tersebut, Risma pun telah gerak cepat dengan membuat surat pencairan dana bantuan ke Kementerian Keuangan (Kemenkeu). ”Hitung-hitungannya sekitar Rp 19 miliar lebih,” ujarnya usai acara graduasi penerima program bantuan sosial (bansos) di Jakarta, Rabu (25/10). Jumlah ini, lanjut dia, akan diberikan pada seluruh korban yang terdata. Baik itu pada ahli waris korban meninggal maupun yang tengah rawat jalan. Nantinya, besarannya pun akan dibedakan. ”Seingat saya beda. Kalau nggak salah kisarannya, hitungannya ada. Nanti yang saya ajukan saya cari,” ungkapnya. BACA JUGA:ASN Kota Bengkulu Harus Netral Untuk data korban, nantinya akan didukung oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Hingga per 26 September 2023, tercatat jumlah korban GGAPA mencapai 326 anak yang sudah terverifikasi-validasi. Korban GGAPA ini tersebar di 27 provinsi, dengan kasus tertinggi berada di Provinsi DKI Jakarta. Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy memastikan, bahwa keputusan gugatan class action tidak akan berpengaruh terhadap santunan yang akan diberikan oleh pemerintah. Dia bahkan mendorong agar penegakan hukum tetap berjalan untuk memberikan rasa keadilan pada korban. Hingga saat ini, proses hukum pun masih berjalan. Pada awal Oktober 2023, Majelis hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak seluruh keberatan atau eksepsi dari tiga instansi pemerintah beserta tiga perusahaan farmasi dan penyalur obat terhadap gugatan class action para keluarga korban GGAPA. Keenam tergugat meliputi Kementerian Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Kementerian Keuangan, PT Tirta Buana Kemindo, CV Samudera Chemical, dan PT Afi Farma Pharmaceutical Industry. Dengan penolakan ini, maka persidangan akan dilanjutkan sampai akhir putusan. BACA JUGA:Pusat Belum Transfer Dana TPG Tw III Sejalan dengan ini, proses hukum yang menyeret empat terdakwa dari PT Afi Farma juga kembali digelar di Pengadilan Negeri Kota Kediri, Rabu (18/10) lalu. Agenda sidang pembacaan pledoi oleh kuasa hukum para terdakwa. Seperti diketahui, kasus GGAPA mulai terjadi pada Januari 2022. Saat itu jumlah korban sekitar 2-3 kasus per bulan sehingga tak terlalu menarik perhatian. Pada Agustus-Oktober 2022 kasus melonjak tajam. Per tanggal 18 Oktober 2022, kasus yang dilaporkan mencapai 189 kasus, didominasi anak usia 1-5 tahun. BACA JUGA:Baru 3 KPU Kab dan KPU Prov Bengkulu Teken Berita Acara Bersama TAPD Ratusan anak tersebut mengalami gejala yang hampir sama, mulai dari diare, mual ,muntah, demam selama 3-5 hari, batuk, pilek, sering mengantuk, hingga jumlah air seni/air kecil semakin sedikit bahkan tidak bisa buang air kecil sama sekali. Rata-rata, kronologi awalnya pun sama, mengkonsumsi obat cair atau sirup. Terutama, obat panas, pilek, dan batuk. Kepanikan mulai terjadi. Kemenkes mengambil langkah cepat dengan bekerjasama dengan berbagai pihak mulai dari IDAI, BPOM, Ahli Epidemiologi, Labkesda DKI, Farmakolog, hingga Puslabfor Polri untuk melakukan penelusuran epidemiologi guna mencari penyebab pasti dan faktor risiko dari GGAPA ini. Hingga akhirnya, diketahui bahwa penyebab kasus GGAPA diduga karena mengalami keracunan senyawa EG (Etilen glikol) dan DEG (Dietilen glikol) yang biasa dipakai sebagai pelarut dalam obat cair atau sirup. Sejalan dengan ini, BPOM pun menghentikan peredaran hingga produksi obat-obat yang dikonsumsi pasien sambil proses investigasi yang berjalan. Hingga akhir Desember 2022, ada 105 obat sirup yang dilarang dikonsumsi dan ditarik dari peredaran. Tak hanya itu, sejumlah perusahaan yang diduga melakukan ketidaksesuaian penggunaan EG dan DEG dicabut sertifikat Cara Pembuatan Obat yang Baik-nya (CPOB) kala itu. (jpg)
Kategori :