Menguak Makna Metatah, Tradisi Potong Gigi yang Tetap Lestari di Bali
METATAH: Prosesi Metatah di Bali yang masih dilakukan hingga saat ini. --SC/IG.screatlife
KORANRB.ID - Tradisi Metatah, yang dikenal juga sebagai mesangih atau potong gigi, merupakan salah satu warisan budaya tertua di Bali yang hingga kini tetap dijalankan sebagai bentuk penyucian diri.
Tradisi ini memiliki makna mendalam bagi masyarakat Hindu Bali, sebab diyakini sebagai proses memotong keenam sifat buruk manusia yang disebut sad ripu.
Prosesi yang umumnya dilakukan pada masa remaja ini bukan hanya menjadi ritual keagamaan, tetapi juga simbol perjalanan spiritual yang menandai seseorang telah memasuki fase kedewasaan.
Dalam kepercayaan masyarakat Hindu Bali, gigi taring yang menonjol dianggap sebagai lambang sifat-sifat negatif seperti keserakahan, kemarahan, nafsu, kebingungan, kesombongan, dan kecemburuan.
BACA JUGA:Tradisi Kasada, Ritual Pengorbanan Suci di Puncak Kawah Gunung Bromo
Dengan ditempaskannya gigi pada upacara Metatah, seseorang diharapkan mampu mengendalikan diri dan melewati tahap transformasi menuju pribadi yang lebih baik.
Ritual ini lazimnya dilakukan sebelum seseorang menikah, tetapi banyak pula yang melaksanakannya pada masa remaja agar proses pendewasaan berlangsung lebih sempurna secara spiritual.
Pelaksanaan Metatah biasanya dilakukan di rumah keluarga atau di pura, tergantung pada skala upacara dan kesiapan keluarga. Suasana sakral begitu terasa sejak awal persiapan.
Para anggota keluarga akan mengenakan busana adat lengkap, sementara para remaja yang akan menjalani Metatah tampil dengan busana khusus layaknya upacara besar lainnya.
Sebelum prosesi dimulai, berbagai perlengkapan upacara disiapkan, mulai dari sesajen, perlengkapan banten, hingga tempat tidur beralaskan tikar yang menjadi tempat utama pelaksanaan mesangih.
BACA JUGA:Fakta Unik Ratu Rayap, Penguasa Koloni dengan Kemampuan yang Hampir Mustahil
Dalam prosesi inti, remaja atau peserta Metatah akan berbaring sambil mulutnya dibuka sedikit. Gigi bagian atas, khususnya gigi taring, ditempaskan atau diratakan menggunakan alat tradisional.
Tekniknya telah diwariskan turun-temurun sehingga tetap terjaga secara adat tanpa kehilangan aspek kehati-hatian. Meski terdengar menegangkan, prosesi ini umumnya berlangsung cepat, dan peserta didampingi penuh oleh keluarga sebagai simbol dukungan dan restu.
Setelah prosesi selesai, bagian gigi yang telah ditempaskan diberi ramuan tradisional untuk meredakan rasa ngilu.