Namun, sebaliknya untuk industri logam dasar yang berorientasi ekspor justru mengalami peningkatan salah satunya akibat isu penimbunan bahan baku untuk HS 72 (Besi dan Baja) oleh Tiongkok.
Ini berbeda dengan subsektor industri furnitur yang penurunannya didorong oleh menurunnya pesanan baru dari luar negeri akibat ekonomi negara mitra serta faktor musiman libur Hari Raya.
Perlambatan nilai IKI dan penurunan kegiatan usaha industri tidak membuat pelaku usaha industri di Indonesia pesimis, justru optimisme pelaku usaha enam bulan ke depan terus naik dari 72,3% menjadi 72,7%, yang merupakan nilai tertinggi sejak IKI dirilis.
Adapun subsektor yang paling optimis dalam enam bulan ke depan adalah subsektor industri kertas dan barang kertas, diikuti industri pencetakan dan reproduksi media rekaman, serta industri makanan.
Tingkat optimisme yang tinggi ini dikarenakan kepercayaan pelaku usaha terhadap kebijakan pemerintah pusat, dan perbaikan kondisi ekonomi global ke depan.
Direktur Jenderal Industri Kecil, Menengah dan Aneka, Reni Yanita menambahkan, ekspansi pada industri pengolahan lainnya dua bulan berturut-turut ini dikarenakan adanya perbaikan kinerja ekspor.
Subsektor ini juga masih memiliki potensi besar untuk peningkatan devisa, yaitu industri perhiasan, mainan, dan bulu mata palsu.
Adapun langkah yang dilakukan Kemenperin untuk menjaga kinerja industri ini antara lain dengan menjaga pasar ekspor, mengoptimalkan pembelanjaan atau konsumsi dalam negeri dengan peningkatan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN), serta mengoptimalkan kerjasama internasional agar produk lokal dapat masuk ke pasar internasional khususnya dari sisi bea masuknya.
Sedangkan terkait perubahan teknologi pada industri besar, Kementerian Perindustrian telah mengidentifikasi tiga KBLI (24, 26, dan 30) untuk dapat dikerjasamakan antara industri kecil dan besar dalam hal pembinaan dan alih teknologi, sehingga dapat meningkatkan kinerja industri tersebut.
Kementerian Perindustrian mendorong program Peningkatan Penggunaan Produk Dalam Negeri (P3DN) untuk meningkatkan penyerapan produk industri dalam negeri dan kelanjutan serta perluasan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) untuk menjaga daya saing produk dalam negeri terhadap produk impor maupun di pasar ekspor.
Kemudian, penggalakan penggunaan Local Currency Transaction (LCT) dapat menekan dampak perlemahan (depresiasi) nilai tukar rupiah yang berimbas kepada komoditas yang memiliki ketergantungan impor bahan baku dan barang modal.
Selain itu, pemberlakuan lartas Permendag Nomor 3 Tahun 2024 khususnya terhadap sektor elektronik dan sektor tekstil dapat mengoptimalkan produsen dalam negeri untuk terus berproduksi.(rilis)