Dengan produksi yang tinggi, menempatkan Provinsi Bengkulu lima besar penghasil kopi di Indonesia.
BACA JUGA:LKPD Molor Terhambat Pihak Ketiga, Ini Kata Inspektur Inspektorat Provinsi Bengkulu
BACA JUGA:Rawan Kebakaran Lahan di Kota Bengkulu, BPBD Tandai 3 Lokasi Ini
Meningkatnya harga jual biji kopi saat bulan Ramadhan (Maret 2024) lalu melambung tinggi hingga mencapai angka Rp 60.000 per Kg. Dibandingkan bulan Ramadhan tahun sebelumnya yang hanya berkisar Rp 20.000 per Kg.
Harga jual biji kopi Bengkulu bahkan masih terus naik menjadi Rp70.000 per Kg jika dijual dalam kondisi petik merah.
Harga Rp60.000 per kg merupakan harga biji kopi petik hijau atau biji asalan di tingkat petani.
Petani kopi di Provinsi Bengkulu mengusahakan berbagai jenis kopi. Mulai dari Arabika, Robusta, hingga Liberika.
Kopi Bengkulu masih didominasi oleh varian Robusta, selain Arabika yang juga berpotensi untuk bisa lebih dikembangkan.
Kabupaten Kepahiang dan Rejang Lebong merupakan kabupaten terbesar menghasilkan puluhan ribu ton kopi kering siap edar setiap tahunnya.
Meskipun kenaikan harga jual kopi dan produksi yang cukup besar di Provinsi Bengkulu, seringkali petani kopi menjadi pihak yang paling sedikit mendapatkan keuntungan dalam rantai distribusi kopi.
Sebagian besar keuntungan justru dinikmati pedagang besar yang memainkan peran sebagai perantara.
Di samping itu petani juga menjadi takut karena seringnya aksi pencurian kopi yang semakin beringas. Pencuri saat ini tidak hanya mencuri kopi yang sudah di panen, seperti di dalam pondok tetapi juga mencuri kopi secara langsung di batangnya.
Harga kopi yang mahal, membuat sebagian petani harus meninggalkan aktivitas lain dan fokus dengan menjaga kopi.
Sebagian petani kopi di kabupaten rejang Lebong dan Kepahiang berjaga bersama di kawasan kebun kopi, beberapa petani bahkan bermalam hingga berhari-hari di pondok kebun kopi.
Panjang rantai disribusi kopi Bengkulu pada umumnya melibatkan pedagang kecil di tingkat desa atau kecamatan, selanjutnya dijual ke pedagang besar di tingkat kabupaten. Kemudian baru dijual ke pedagang antar provinsi atau langsung eksportir. Tentunya di setiap pedagang mengambil keuntungan.
Menurut Prof. Dr. Sriulina Shinta Lingga “petani yang berada pada rantai distribusi pendek lebih sejahtera di banding pada rantai distribusi panjang”.