Oleh Iskandar Novianto
KETIKA KPK menangkap Gubernur Bengkulu, Rohidin Mersyah, pada 24 November 2024, aroma ironi memenuhi udara.
Tuduhan pemerasan dan gratifikasi seolah menjadi cap wajib di dada kepala daerah mana pun.
Kita tahu, korupsi adalah nyanyian tunggal dalam simfoni birokrasi kita.
Tetapi yang terasa ganjil adalah bisik-bisik tentang lawan politiknya, yang konon bermain di jalur serupa.
BACA JUGA:Disambut Baik DPRD, Kunjungan Mendes Bawa Angin Segar untuk Pembangunan Desa di Bengkulu Utara
BACA JUGA:Mendagri Tunjuk Rosjonsyah jadi Plt Gubernur, Tegaskan Pelayanan di Pemprov Bengkulu Tetap Berjalan
Apakah ini keadilan? Atau sekadar drama politik, di mana pemeran utama dipilih lebih dulu, baru kemudian ditebang di atas panggung hukum?
“Semua hewan sama, tetapi ada yang lebih sama daripada yang lain,” George Orwell menulis dalam "Animal Farm".
Hukum di negeri ini, sering kali, adalah ladang Orwellian.
KPK seperti dewa yang dengan mata tertutup atau setengah terbuka, bisa mencomot kepala daerah mana pun.
BACA JUGA:Punya Islamic Centre Baru, DPRD Dukung Bupati Mian Alirkan APBN ke Bengkulu Utara
BACA JUGA:Dana Desa Untuk Rejang Lebong Tahun 2025 Turun Menjadi Rp 101,37 Miliar
Tak perlu terlalu teliti, hampir setiap nama punya “jejak” di kamar gelapnya.
Namun, mengapa selalu ada yang lebih “layak” menjadi tumbal, sementara yang lain bebas menari di tepian? Pilih tebang, atau tebang pilih—dua sisi dari koin yang sama.