Yang lebih getir adalah bagaimana korupsi berevolusi.
Jika dulu money politics menggunakan koper penuh uang tunai, kini uang negara menjadi instrumen utamanya.
BACA JUGA:Logistik Pilkada Mulai Didistribusikan di 10 Kecamatan Terjauh dan Sulit Dijangkau
BACA JUGA:Meriani: Dukungan Tak Terbendung, Lanjutkan Perjuangan, Tim Hukum Isyaratkan Praperadilan
Seolah negeri ini sedang melukis tragedi baru: korupsi yang berkamuflase sebagai filantropi.
Program bantuan sosial seperti bansos, BLT, PIP, KIP, PKH, hingga makan siang bergizi gratis menjadi panggung politik, di mana para pemimpin tersenyum lebar membagi “ikan” kepada rakyatnya.
Namun, dampaknya pada ekonomi masyarakat terasa bagai bayangan: terlihat, tetapi tak bisa digenggam.
“Berikan aku pancing, bukan ikan,” ujar sebuah pepatah lama.
BACA JUGA:Pekerjaan yang Dibiayai DAK Fisik untuk Sekolah Sudah 80 Persen
BACA JUGA:APBD Bengkulu Tengah Tahun Anggaran 2025 Mencapai Rp 950 Miliar
Tapi di sini, pancing diganti dengan poster wajah gubernur atau bupati, dengan slogan murahan tentang perhatian kepada rakyat kecil.
Uang negara mengalir deras, tetapi tidak untuk membangun kemandirian, melainkan untuk menciptakan ketergantungan.
Angka kemiskinan turun di laporan statistik, tetapi tidak di kehidupan nyata.
Kembali pada Rohidin Mersyah, kita mungkin bertanya: apakah ia sekadar aktor lain dalam opera sabun politik Indonesia? Atau korban dari sistem yang lebih besar, lebih busuk?
Penangkapan seperti ini bukan hanya tentang penegakan hukum, melainkan tentang pertunjukan kekuasaan.
BACA JUGA:PGRI Minta Pemerintah Tingkatkan Kesejahteraan Guru