Menghadapi Ancaman Serangan Fajar dalam Pemilihan Umum: Upaya Mencegah Politik Uang
Serangan fajar sangat populer terutama saat menjelang pemilu.--
KORANRB.ID - Dalam menjelang pemilihan umum, satu ancaman yang perlu diwaspadai adalah praktik politik uang, yang dikenal dengan istilah "serangan fajar".
Praktik ini, yang sering kali terjadi pada pemilihan kepala desa, telah menjadi semacam "tradisi" di beberapa daerah, meskipun jelas-jelas bertentangan dengan prinsip-prinsip antikorupsi.
Praktek politik uang seringkali terjadi menjelang pemilu, di mana para calon kepala daerah atau anggota legislatif menggunakan upaya tersebut sebagai alat terakhir untuk memengaruhi pilihan para pemilih atau penyelenggara pemilu dengan memberikan imbalan berupa uang atau sembako.
BACA JUGA:Maret, BKPSDM Bengkulu Tengah Jadwalkan Pelantikan PPPK yang Baru
Salah satu bentuk politik uang yang umum adalah serangan fajar, yang merujuk pada pemberian uang kepada pemilih pada waktu subuh sebelum hari pencoblosan, atau beberapa hari sebelumnya.
Praktik serangan fajar sudah ada sejak zaman Orde Baru dan seolah-olah dianggap sebagai bagian dari proses demokrasi Indonesia.
Ini terlihat dari hasil survei LIPI pada tahun 2019, di mana masyarakat melihat pemilu sebagai kesempatan untuk "mendapatkan berkah".
Survei tersebut juga menemukan bahwa 40% dari responden mengaku menerima uang dari calon peserta pemilu, tetapi tidak mempertimbangkan untuk memilih mereka, sementara 37% lainnya menerima uang dan mempertimbangkan untuk memilih pemberinya.
BACA JUGA:Sudah Tahap 2 ke JPU, 3 Tsk Dugaan Korupsi Sekretariat DPRD Seluma Segera Disidangkan
Faktor-faktor yang melatarbelakangi praktek serangan fajar antara lain adalah tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia.
Dengan tingkat kemiskinan yang signifikan, sebagian masyarakat merasa terdesak untuk segera mendapatkan uang.
Pada saat pemilu, yang dianggap sebagai "kesempatan bagi rezeki" menurut survei LIPI, masyarakat miskin atau calon peserta pemilu tidak memikirkan konsekuensi dari tindakan tersebut.
Seperti suap atau jual beli suara, yang jelas melanggar hukum, karena mereka berpikir bahwa keduanya sama-sama mendapat keuntungan finansial.
BACA JUGA:Keterbatasan Anggaran Daerah, Rekrutmen Guru di Rejang Lebong Dilakukan Bertahap