Dia menjelaskan kurun waktu 30 tahun terakhir, efek UHI relatif cukup kuat dirasakan.
Sejumlah kota besar di Indonesia seperti Jabodetabek, Medan, Surabaya, Makassar, dan Bandung termasuk dalam 20 persen kota dengan nilai Land Surface Temperature (LST) terbesar.
Dikatakan Dwikorita, permukaan yang kedap air dan lebih sedikit vegetasi menambah efek dari UHI tersebut.
Dwikorita menambahkan Badan Meteorologi Dunia (WMO) baru saja menyatakan bahwa tahun 2023 tercatat sebagai tahun terpanas sepanjang pengamatan instrumental.
Anomali suhu rata-rata global mencapai 1,45 derajat Celcius di atas zaman pra industri.
BACA JUGA: Tersedia Formasi Tamatan SMA di Perekrutan PPPK Bengkulu Selatan
BACA JUGA:Hingga Juni 2024, Ombudsman Bengkulu Terima 128 Laporan, Valuasi Kerugian Capai Rp411,54 Juta
Ia menuturkan angka ini hampir menyentuh batas yang disepakati dalam Paris Agreement tahun 2015 bahwa dunia harus menahan laju pemanasan global pada angka 1,5 derajat Celcius.
Tahun 2023, terjadi rekor suhu global harian baru dan terjadi bencana heat wave ekstrem yang melanda berbagai kawasan di Asia dan Eropa.
"Rekor iklim yang terjadi di tahun 2023 bukanlah kejadian acak atau kebetulan, melainkan tanda-tanda jelas dari pola yang lebih besar dan lebih mengkhawatirkan yaitu perubahan iklim yang semakin nyata,” beber Dwikorita sebagaimana dilansir dari bmkg.go.id.
Ia menjelaskan harus ada langkah bersama seluruh komponen masyarakat.
Tidak hanya pemerintah, namun juga sektor swasta, akademisi, media, LSM, dan lainnya.
Dwikorita memaparkan secara rinci apa saja yang menjadi tugas dan kewenangan BMKG.
Tugas utama BMKG yakni melakukan monitoring secara sistematis dan berkesinambungan, agar analisis untuk prediksi dan proyeksi puluhan hingga seratus tahun kedepan dapat dihasilkan secara tepat.
"Tanpa data, analisis tidak dapat dilakukan. Kita membutuhkan data sebagai verifikasi atau asimilasi untuk membantu tugas BMKG dalam adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” urainya.