KORANRB.ID – Tiga terdakwa yakni Wahyu Hidayat, Henky Andriyo Paska dan Firman Riza diperiksa keterangannya dalam persidangan.
Selain itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu juga menghadirkan saksi ahli pada sidang lanjutan perkara dugaan Pungutan Liar (Pungli) di Jembatan Timbang dan pengurusan Uji Kendaraan Bermotor di Unit Pelaksana Penimbangan Kendaraan Bermotor (UPPKB) Balai Pengelola Transportasi Darat (BPTD) Kelas III Bengkulu di Desa Padang Ulak Tanding.
Sidang dengan agenda pemeriksaan keterangan saksi ahli dan keterangan terdakwa ini di gelar di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Bengkulu pada 8 Agustus 2024 dan hakim yang memimpin persidangan adalah Faisol, SH.
Ahli tersebut adalah Dr. Hamzah Hatrik, SH, MH yang merupakan Akademisi Bidang Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Hazairin Bengkulu.
BACA JUGA:Didakwa Terlibat Dugaan Korupsi Rp1,1 Miliar Dana ZIS, Mantan Ketua Baznas BS Ajukan Penangguhan
BACA JUGA:Hantam Tiang Papan Merek Perumahan, 2 Pengendara Motor Tewas, Korban Masih Remaja
Ahli Hamzah mengungkapkan bahwa sepengetahuannya bahwa memang untuk urusan KIR ini tidak dipungut biaya dan itu sudah diterangkan pada Undang-Undang Cipta Kerja.
"Kalau saya tidak salah ingat bahwa memang KIR ini tidak dipungut biaya," ungkap Hamzah.
Kemudian Hamza mengungkapkan pada perkara ini dikatagorikan sebagai tindak pidana korupsi dengan modus pungutan liar atau menurut Hamzah adalah pungutan Ilegal.
"Sebenarnya saya tidak setuju dengan kata pungutan liar ini, namun saya menyebutnya pungutan ilegal," jelasnya di muka persidangan.
BACA JUGA: 2 Ahli Kuatkan Dakwaan JPU, Perkara Korupsi PNPM Air Napal Bengkulu Utara
Ia melanjutkan bahwa pada perkara ini secara pemahaman hukum memang tidak ada unsur pemaksaan secara fisik namun pemaksaan dilakukan dengan jabatan atau tekanan kepangkatan.
"Unsur Pasal 12 e Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi itu memuat mengenai pemaksaan, pada kata pemaksaan itu para terdakwa jelas memaksa. Pasalnya, mereka adalah orang yang memiliki jabatan serta wewenang untuk menilang secara tidak langsung para sopir takut dengan jabatan para personel ini makanya mereka memberikan uang," terang Hamzah.
Selanjutnya untuk Pasal 11 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi menurutnya juga bisa disangkutkan, karena dengan wewenang dan kekuasaan para terdakwa bisa melancarkan operasinya.