BACA JUGA:Ormas Bisa Lakukan Pemantauan Pilkada 2024, KPU Buka Pendaftaran
Khusus pada sektor perdagangan pertanian, Puntodewi juga menyampaikan perlunya kolaborasi untuk menghadapi tantangan terkait isu lingkungan dan perubahan iklim, meliputi fenomena El Nino, kebijakan European Union on Deforestation-free Regulation (EUDR), dan isu pertanian berkelanjutan.
Selain itu, perlu adaptasi teknologi dalam upaya meningkatkan efisiensi dan produktivitas sektor pertanian, seperti penerapan perdagangan digital lintas batas yang memungkinkan akses yang lebih luas ke pasar global. Tidak kalah penting adalah tantangan situasi geopolitik dan preferensi perdagangan dengan negara mitra (friendshoring).
Contohnya, larangan ekspor dan impor serta kebijakan tarif bea masuk yang dapat mempengaruhi daya saing produk pertanian Indonesia.
Sementara itu, Dekan Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB, Irfan Syauqi Beik menyampaikan, pertanian adalah isu strategis karena menurut Presiden Soekarno, kedaulatan negara bergantung pada ketahanan pangan.
Menurut Irfan, sektor pertanian masih memiliki potensi yang dapat dikembangkan.
"Sektor pertanian sebagai tulang punggung perekonomian masih potensial untuk berkembang. Tantangan yang ada perlu dihadapi dengan strategi kebijakan yang dirumuskan seluruh pemangku kepentingan," jelas Irfan.
GTT ke-16 menghadirkan narasumber Direktur Perundingan Organisasi Perdagangan Dunia Kementerian Perdagangan Wijayanto, Direktur International Trade Analysis and Policy Studies (ITAPS) Fakultas Ekonomi dan Manajemen (FEM)IPB University Sahara, dan anggota Komite Perkebunan Bidang Pertanian dan Kehutanan APINDO Arief Susanto. Bertindak sebagai moderator Eisha Rachbini.
BACA JUGA:Pengerukan Alur Pelabuhan Bahas Perusahaan yang Miliki Izin
BACA JUGA:Soal Bagi Hasil Mega Mall, Ini Penjelasan Pemkot dan Pengelola
Dalam kesempatan ini, Wijayanto menekankan, produk olahan pertanian Indonesia memainkan peran penting dalam perekonomian nasional dan menjadi andalan dalam perdagangan internasional. Potensi besar dari sektor ini mencakup pasar global yang semakin peduli dengan produk berbasis kesehatan, keberlanjutan, dan kualitas tinggi.
"Hilirisasi sawit bisa mencapai lebih dari duaribu produk. Dengan fokus pada inovasi produk dan peningkatan keberlanjutan, Indonesia dapat terus meningkatkan nilai tambah dari produk pertanian di pasar internasional," jelas Wijayanto.
Sementara, Sahara menyoroti urgensi kompleksitas ekonomi dan ekspor. Ekspor produk yang sudah diolah akan lebih menguntungkan bagi perekonomian Indonesia.
"Kita bandingkan ekspor biji kopi mentah dengan biji kopi panggang, biji kakao dengan coklat premium, rumput laut dengan agar-agar, karagenan, bioetanol, kosmetik, dan produk farmasi. Tentu lebih mahal dan kompleks jika komoditas pertanian sudah diolah dan diberi nilai tambah. Faktor keragaman dan kecanggihan produk inilah menjadi dua faktor utama penentu indeks ECI Indonesia. Negara-negara berpendapatan tinggi cenderung memiliki nilai ECI yang tinggi, seperti Jepang (2,19), Amerika Serikat (1,56),dan Singapura (1,84)," urai Sahara.
Adapun Arief Susanto menerangkan kondisi daya saing produk olahan pertanian nasional. Sawit dan turunannya adalah komoditas andalan Indonesia.
Indonesia adalah produsen dominan dan memiliki keuntungan kompetitif. Untuk kopi, kakao, dan kelapa, Indonesia mulai bersaing ketat dengan negara lain.