KORANRB.ID – Sepanjang tahun ini, Kabupaten Rejang Lebong mencatat 11 kasus baru Human Immunodeficiency Virus/Acquired Immune Deficiency Syndrome (HIV/AIDS).
Meski jumlah ini menunjukkan penurunan dibandingkan tahun sebelumnya, Dinas Kesehatan (Dinkes) memandang tantangan besar masih mengintai, terutama dari kelompok berisiko tinggi.
Kasi Pencegahan dan Pemberantasan Penyakit Menular (P2PM) Dinkes Rejang Lebong, Titin Julita SKM, menjelaskan penurunan ini merupakan hasil dari upaya intensif yang dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, sebagian besar kasus baru masih didominasi oleh lelaki seks lelaki (LSL) atau gay.
“Rata-rata setelah diselidiki, mereka pernah melakukan hubungan seksual sesama jenis, seks bebas tanpa pengaman, atau bergonta-ganti pasangan. Ini menjadi catatan penting dalam mengidentifikasi kelompok yang rentan,” jelas Titin.
Melihat situasi yang ada, Dinkes Rejang Lebong telah menyusun rencana strategis untuk mencapai target ambisius yang dikenal sebagai ‘3 Zero’ pada tahun 2030. Strategi ini mencakup zero kematian akibat HIV/AIDS, zero kasus baru, dan zero stigma terhadap pasien HIV/AIDS.
BACA JUGA:Sidang Perdana Perkara RSUD HD Manna pada 2 Januari, Kejari BS Siapkan 4 JPU
BACA JUGA:3.000 Siswa dari 6 Sekolah Dapat Makanan Bergizi Tahap awal
“Langkah kami bukan hanya fokus pada pengobatan, tetapi juga mencakup edukasi, pencegahan, dan dukungan sosial. Edukasi kepada kelompok berisiko, terutama remaja dan komunitas rentan, menjadi prioritas,” tutur Titin.
Menurutnya, stigma terhadap pasien HIV/AIDS masih menjadi hambatan besar dalam upaya penanggulangan penyakit ini. Banyak pasien enggan memeriksakan diri atau menjalani pengobatan karena khawatir dihakimi oleh masyarakat.
“Padahal, jika pasien mau rutin minum obat antiretroviral (ARV), virus HIV-nya bisa ditekan hingga sangat rendah. Dengan begitu, mereka tetap bisa menjalani hidup sehat, bahkan membangun keluarga tanpa risiko menularkan virus,” jelasnya.
Salah satu akar masalah yang menjadi perhatian adalah minimnya edukasi mengenai kesehatan seksual dan reproduksi. Tingginya kasus di kalangan LSL dan perilaku seksual berisiko lainnya mengindikasikan perlunya pendekatan khusus dalam memberikan edukasi pencegahan.
“Pola hidup bebas, terutama di kalangan remaja, menjadi tantangan besar. Selain itu, penggunaan alat kontrasepsi seperti kondom masih dianggap tabu, padahal ini adalah langkah preventif yang sangat efektif,” ujar Titin.
Ia juga menyoroti pentingnya peran keluarga dalam memberikan pendidikan seksual yang benar sejak dini. “Orang tua harus lebih terbuka dalam memberikan pemahaman tentang risiko hubungan seksual tidak aman. Ini bukan sekadar melarang, tetapi memberikan edukasi yang mendalam,” katanya.
Pencegahan HIV/AIDS tidak hanya menjadi tanggung jawab pemerintah, tetapi juga memerlukan peran aktif komunitas lokal. Organisasi masyarakat, kelompok agama, dan lembaga pendidikan dapat menjadi garda terdepan dalam menyuarakan pentingnya pencegahan dan mengurangi stigma.
BACA JUGA:Peduli, Pemda Bengkulu Utara Buka Sekolah Khusus Lansia