KORANRB.ID – Nama Ratu Samban memang sudah tidak asing lagi ditelinga masyarakat Provinsi Bengkulu. Nama pahlawan asal Kabupaten Bengkulu Utara ini banyak diabadikan mulai dari nama jalan hingga nama Kecamatan di wilayah Provinsi Bengkulu.
Namun tahukah anda jika nama Ratu Samban tersebut diambil dari istilah berbahasa Rejang yang merupakan suku asli di Bengkulu.
Nama tersebut bukanlah berarti wanita yang memimpin sebuah kerajaan dan lazim disebut Ratu melainkan dari Istilah Perantau yang masuk ke Bengkulu Utara.
BACA JUGA:Makam Karbala, Sejarah, Warisan Tradisi dan Budaya
Sekitar tahun 1870an lalu, ada perantau Islam yang menelusuri sungai Batik Nau dengan rakit hingga ke Desa Pagar Ruyung Kecamatan Batik Nau, keduanya adalah pasangan laki-laki dan perempuan.
Dua orang tersebut adalah pasangan laki-laki dan perempuan, dalam istilah Rejang perantau Disebut Ratu sedangkan Samban adalah istilah rakit yang terdampar hingga mereka disebut Ratu Samban.
Lantaran membangun pondok di dekat aliran sungai, saat itu keduanya didatangi oleh Mardjati yang merupakan pesirah Batik Nau.
Keduanya diketahui memiliki ilmu tinggi hingga dan dalam perbincangan tersebut pasangan itu menjelaskan tentang penjajahan Belanda yang ketika itu menjajah Bengkulu.
BACA JUGA:Benteng Anna Mukomuko Saksi Sejarah Perdagangan Nusantara
Saat perbincangan tersebut, tiba-tiba pasangan ini menghilang dari pandangan Mardjati dan hanya meninggalkan jubah putih serta sorban yang digunakannya saat itu.
Sejak itulah , Mardjati menyadari jika keduanya adalah orang sakti dan menguburkan jubah serta sorban tersebut di Desa Pagar Ruyung.
Saat ini, tempat pemakaman jubah, sorban dan barang-barang tersebut dikenal dengan makam Ratu Samban yang terletak di Desa Pagar Ruyung Batik Nau.
Saat itu, penjajah Belanda juga sudah mulai masuk ke Kabupaten Bengkulu Utara, salah satu incarannya adalah rempah-rempah dan emas yang ada di Bengkulu Utara.
Bahkan pemerintah Belanda juga berencana akan menaikan pajak bagi masyarakat yang diyakini akan menyulitkan masyarakat, rencana kenaikan pajak tersebut jelas mendapatkan penolakan dari masyarakat Bengkulu Utara.
Sosok Mardjati sebagai pesirah tersebut sangat menonjol dalam penolakannya melawan kebijakan pemerintah Belanda.