JAKARTA, KORANRB.ID - Bagai pedang bermata dua, pinjaman online (pinjol) adalah solusi sekaligus jebakan. Persyaratan yang relatif mudah membuat masyarakat yang tidak bankable menjadikan pinjol sebagai jalan keluar masalah keuangan mereka. Sayangnya, di antara banyak pinjol legal, ada lebih banyak pinjol ilegal yang beroperasi semaunya tanpa mengindahkan ketentuan Otoritas Jasa Keuangan (OJK).
Zain tidak pernah membayangkan kehidupannya akan menjadi kacau gara-gara pinjol. Pria 36 tahun itu disidang oleh atasannya di tempat kerja lantaran teror pesan elektronik yang dikirimkan debt collector kepada sang atasan. Pesan-pesan itu berisi ancaman dan makian dengan tujuan untuk menekan Zain dan segera membayar pinjaman. Praktik yang umum dilakukan oleh pinjol-pinjol ilegal.
BACA JUGA:Satgas Cartenz Identifikasi Enam Korban KST, Dua Jenazah Didapati tanpa Kartu Identitas
Selain atasan Zain, debt collector pinjol ilegal ternyata juga meneror keluarga, ipar, mertua, dan teman-teman Zain. Parahnya, debt collector juga menyebar identitas Zain di media sosial (medsos) dengan narasi-narasi negatif yang menghancurkan citra Zain.
’’Lebih ke beban mental memang. Makanya nggak sedikit juga yang bunuh diri karena pinjol,” ujar warga Cakung, Jakarta Timur itu,
Zain berkenalan dengan pinjol saat pandemi Covid-19 membuat dia terpaksa tidak gajian selama dua bulan. Dalam kondisi seperti itu, ada kebutuhan mendadak yang harus segera dia penuhi. ’’Udah nyoba pinjem ke temen, tapi juga lagi pada kosong karena waktu itu emang pas banget pandemi yang pertama,” ungkapnya.
BACA JUGA:Sabar, Dana TPG Belum Masuk, Tahun Depan Naik Rp 33,2 Miliar
Saat itulah dia akhirnya mengajukan pinjaman sebesar Rp 1,5 juta ke pinjol. Namun, yang diasese hanya sebesar Rp 1,3 juta. Sedangkan yang harus dia kembalikan beserta bunga pinjamannya sebesar Rp 1,68 juta.
Masalahnya, tenor pelunasan hanya dalam hitungan minggu. Zain pun terpaksa mengajukan pinjaman ke pinjol yang lain demi menutup pinjaman di pinjol pertama. Dia tidak lagi melihat apakah pinjol itu legal atau tidak. Dia mengaku sudah mencoba hampir semua aplikasi pinjol yang ada di Play Store.
’’Jadi, buat nutupin satu pinjol, harus utang lagi ke dua pinjol. Begitu seterusnya sampai ada 27-an pinjol kalau nggak salah,” tuturnya.
BACA JUGA:Tiga Pejabat Kejati Turun Gunung Hadapi Prapid Tsk OOJ
Selain tenor yang tidak wajar, pinjol ilegal juga menerapkan denda yang penghitungannya semau mereka sendiri. Zain menyebut ada satu aplikasi yang dendanya dihitung per hari, sebesar 1 persen dari besar pinjaman. Jika pinjamannya sebesar Rp 1,3 juta, denda keterlambatan per harinya sebesar Rp 13 ribu. ’’Yang nyekik itu denda keterlambatannya,” keluhnya.
Beruntung, Zain kini sudah terbebas dari jeratan pinjol ilegal. Pada September 2021, dia akhirnya bisa melunasi pinjaman yang nilainya sudah membengkak jadi Rp 34 jutaan dari 27 pinjol legal dan ilegal. ’’Kalau waktu itu nggak dapet project, entah mau sampai kapan bisa nyelesainnya,” ungkapnya.
Tidak jauh beda dengan Zain, Melati (bukan nama sebenarnya) pun pernah merasakan tekanan batin yang berat gara-gara pinjol. Perempuan 30 tahun itu terpaksa berutang karena ditipu rekan bisnis dari usaha event organizer (EO) miliknya di Bandung. Dia tidak tahu jika sang rekan melarikan uang pembayaran mitra vendor. ’’Aku kaget. Tiba-tiba banyak orang vendor ngejar-ngejar aku, nagih,” katanya.
BACA JUGA:Rakernas PPITTNI di Bengkulu, Gub: Semangat Organisasi Mencapai Tujuan