Perilaku penyelenggara itu, lanjut BW, berkaitan dengan dalil kedua, yakni lumpuhnya indepensi penyelenggara. Lemahnya independensi, sudah berlangsung sejak rekrutmen penyelenggara.
Kala itu, Jokowi menetapkan timsel KPU-Bawaslu tidak sesuai ketentuan, yakni ada 4 unsur pemerintah yang mestinya maksimal 3.
Proses pemilihan pansel yang bermasalah, berujung pada terpilihnya penyelenggara yang tidak berintegritas. KPU misalnya, terbukti melanggar etik dalam kasus manipulasi verifikasi partai.
Kemudian, KPU juga melanggar etik saat menerima pencalonan Gibran tidak sesuai prosedur.
Sementara Bawaslu, dinilai tumpul dalam menangani pelanggaran paslon 02.
Misalnya saat Gibran hadir di kegiatan asosiasi desa, hingga kampanye di CFD yang jelas melanggar aturan.
Dalil ketiga adalah adanya nepotisme paslon 2 yang menggunakan lembaga kepresidenan.
Modus itu dilakukan melalui intervensi pada putusan MK pada syarat calon presiden, mengendalikan penyelenggara pemilu, mengkooptasi alat negara, hingga penjinakan partai politik.
Kecurangan keempat adalah pengangkatan Penjabat (PJ) Kepala daerah yang tidak sesuai prosedur partisipasi dan transparansi. PJ, lanjut Bambang, digunakan untuk mengarahkan pilihan.
Dari kalkulasi pihak AMIN, PJ yang ada di 20 Provinsi telah berpengaruh pada 140 juta pemilih.
Yang kelima, pihak AMIN mendalilkan PJ telah menggerakkan struktur di bawahnya.
Di Sumatera Utata misalnya, PJ Sumut mengumpulkan kepala dinas untuk memenangkan 02.
Jika tidak akan ada mutasi.
Kemudian yang ke enam, paslon 2 juga memanfaatkan keterlibatan pejabat negara.
Pihaknya mencatat ada sebelas menteri yang membantu kemenangan.
Itu belum termasuk digunakannya BAIS, BIN, hingga Intelijen Polisi.