Wah! Ada 2.124 ODGJ di Bengkulu Bakal Nyoblos, KPU Persiapkan Ini
KPU Provinsi Bengkulu menyampaikan ada 2.124 ODGJ bakal nyoblos bakal dapat Perlakuan Khusus--ABDI/RB
Lebih lanjut Frendianus memastikan, KPU kabupaten/kota sudah menyiapkan fasilitas hingga simulasi pencoblosan dengan pemilih berstatus disabilitas. Sehingga mereka memiliki hak, harus dipenuhi dan difasilitasi. "Nanti (di TPS) untuk disabilitas diberi ruang khusus, seperti kursi-kursi dan lainnya, khusus untuk mereka," pungkasnya.
Sementara, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Sumut, meminta KPU Sumut untuk memberikan fasilitas dengan sebaik-baiknya kepada pemilih disabilitas pada hari pencoblosan, 14 Febuari 2024.
"Mekanisme fasilitas itu ada di KPU, sehingga harus diberikan fasilitas sebaik-baiknya," kata Koordinator Divisi Hubungan Masyarakat, Data, dan Informasi Bawaslu Sumut, Saut Boangmanalu kepada Sumut Pos, kemarin (19/1).
Saut mengungkapkan, untuk memberikan fasilitas bagi pemilih ODGJ, harus diketahui kesehatannya secara rohani dan kejiwaan, yang diperiksa oleh dokter spesialis jiwa.
"Di PKPU kalau tidak salah, dia (ODGJ) dipastikan sehat rohani dan kejiwaannya. Kalau untuk memastikan dia sehat secara rohani dan kejiwaannya, adalah dokter," jelas Saut
"Hal ini menjadi dilema. Kalau di daerah tertentu, tidak ada dokter spesialis kejiwaan bagaimana itu? Ini juga kesiapan dari tim kedokteran. Kita dari Bawaslu, selama kita lihat persiapan memungkinkan, mendorong memberikan hak pilihnya," sebutnya.
BACA JUGA:Segera Adili 2 Tersangka Korupsi Usutan Kejari BS
Suat menilai, hak pilih dari ODGJ itu ada sisi positif dan sisi negatifnya. Tapi harus sikapi dan fasilitas, dengan sesuai prosedur dan peraturan undang-undang.
"Kita mendorong ada sisi positif, ada sisi negatif juga. Positifnya, mendorong memenuhi hak suara ODGJ, sisi negatif takut berbuat atau terjadi tidak diinginkan di TPS," tandasnya.
Pengamat sosial dan politik dari Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU), Shohibul Anshor Siregar mengatakan, istilah dan status ODGJ adalah sesuatu yang amat teknis dan hanya dapat ditentukan oleh sebuah otoritas keilmuan dan profesi dokter, dan bukan sembarang dokter.
"Kalau saya tak salah, Indonesia pernah bimbang soal hak ODGJ dalam Pemilu. Terbukti oleh pembatasan yang ada pada pengaturan pasal 14 ayat 2 UU Pemilu Nomor 12 Tahun 2003 yang kemudian direvisi oleh pasal 19 UU Nomor 10 Tahun 2008," ujarnya kepada Sumut Pos, kemarin (19/1).
Dia menilai, mengapa dulu ODGJ dibatasi? Karena hak pilih juga dapat ditilik dari kualitasnya. Artinya, jika dengan ketidakjelasan pengetahuan tentang demokrasi, Pemilu dan informasi dengan variasi pilihan yang tersedia, maka aspirasi orang dengan kadar serupa itu dipandang kurang bermanfaat dalam demokrasi.
"Dulu, sekitar tahun 1969-an, Amerika berdebat luas soal hak pilih bagi kulit hitam. Sebagian berpendapat, mereka memiliki hak yang sama sebagai warga negara.
Tetapi sebaliknya, sebagian lain menolak hak itu karena kalangan kulit hitam. Selain dipandang tidak sama dengan kulit putih (pandangan rasialistik), kenyataannya juga kerap tunduk pada pengaruh figur-figur tertentu terkait dengan hubungan ekonomi dan perbudakan kulit putih yang dapat memanipulasi pilihan politik kulit hitam menjadi bukan berdasarkan hati nurani," bebernya.
BACA JUGA:Uang Hasil Curian Dibagi untuk Foya-foya dan Bayar Kredit