Bayar Denda 4 Kali Lipat, Kasus Cukai Bisa Distop
Petugas Bea Cukai memeriksa barang bekas impor. --ist/rb
JAKARTA, KORANRB.ID – Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 54 tahun 2023 tentang Penghentian Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Cukai untuk Kepentingan Penerimaan Negara. Melalui aturan itu, penyidikan pidana cukai bisa dihentikan, asalkan tersangka membayar denda sebesar 4 kali dari nilai cukai yang seharusnya dibayar.
Penghentian dilakukan dengan penerapan konsep ultimum remedium. Artinya, penggunaan hukum pidana merupakan jalan terakhir dalam penegakan hukum.
BACA JUGA:Jadwal Masa Kampanye di Kepahiang Telah Ditentukan
Pada Pasal 2 Ayat 1 disebutkan bahwa ’’Untuk kepentingan penerimaan negara, atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk, Jaksa Agung atau pejabat yang ditunjuk dapat menghentikan Penyidikan tindak pidana di bidang cukai paling lama dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal surat permintaan,’’ dikutip Jawa Pos, kemarin (28/11).
Namun penghentian penyidikan hanya dilakukan atas tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 50, Pasal 52, Pasal 54, Pasal 56, Pasal 58 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai Sebagaimana telah beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2O21 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan
BACA JUGA:Sebulan, Kemenkominfo Temukan 39 Hoax Pemilu
Nantinya yang bersangkutan harus membayar sanksi administratif berupa denda 4 kali nilai cukai yang seharusnya dibayar. Selain itu dalam proses penyidikan, penyidik dapat memberitahukan kepada tersangka bahwa yang bersangkutan dapat mengajukan penghentian penyidikan di bidang cukai untuk kepentingan penerimaan negara.
Pada Pasal 4, menteri atau pejabat yang ditunjuk juga melakukan penelitian permohonan untuk memastikan tindak pidana yang dilanggar dan besaran sanksi administrasi berupa denda yang harus dibayar.
BACA JUGA:Irigasi Jadi Penentu Capaian Swasembada Pagan
’’Tersangka membayar sanksi administratif berupa denda sebagaimana dimaksud pasal 4 ayat 2 ke rekening pemerintah yang ditetapkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk,’’ bunyi aturan itu.
Research Manager Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar menyebut bahwa PP itu merupakan aturan turunan dari UU HPP klausul Ultimum Remedium dalam cukai.
BACA JUGA:2 Dibekuk, 1 Pelaku Curanmor Masih Buron
Fajry menyebut, jika klausul ultimum remedium diterapkan dalam pajak, maka hal itu tepat karena fungsi utama pajak untuk mencari penerimaan. ’’Sedangkan cukai berbeda, ada aspek pengendalian konsumsi di sana. Jadi tidak tepat ada klausul ultimum remedium bagi cukai,’’ ujarnya kepada Jawa Pos, kemarin (28/11).
Fajry mencontohkan dengan pidana cukai bagi para pelaku usaha rokok ilegal. Menurut dia, para pelaku itu perlu diberikan hukuman berat agar memberikan efek jera.