JAKARTA, KORANRB.ID - Putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK dinilai berwajah dua. Dalam satu sisi putusan itu fungsional alias bisa dijalankan, namun juga dianggap berkompromi.
Pakar Hukum Tata Negara Universitas Padjajaran (Unpad) Prof Susi Dwi Harijanti menuturkan, putusan MKMK memberhentikan Anwar Usman sebagai Ketua MK, namun masih menjadi hakim MK itu memang pilihan terbaik. Sebab, dalam Peraturan Mahkamah Konstitusi (PMK) yang ada semacam kekosongan hukum. "Kalau pemberhentian tidak dengan hormat sebagai hakim konstitusi seharusnya ada MKMK banding. Tapi, ini tidak ada, sehingga tidak bisa melakukan pembelaan diri," paparnya. BACA JUGA:Berharap MKMK Jatuhkan Sanksi Terberat, Puan Sebut Kawan Lama Sudah Jadi Lawan Baru Namun begitu, putusan tersebut terlihat sangat berkompromi. Sebab, sesuai PMK sanksi itu hanya ada terguran lisan, tertulis dan PTDH. "Tidak ada itu pemberhentian sebagai Ketua MK, hanya ada PTDH sebagai Hakim Konstitusi," jelasnya. Karena itu, lanjutnya, seharusnya dissenting opinion dari Hakim Bintan Saragih itu juga menjadi putusan dari MKMK. Dia mengatakan, bagaimana bisa MKMK menyatakan pelanggaran berat terjadi. Tapi, tetap dipertahankan sebagai hakim konstitusi. "Ini mungkin karena Prof Jimly menyebut soal ketenangan dan kepastian hukum," paparnya. Di sisi lain, yang juga menjadi tanda tanya adalah MKMK mengesampingkan Pasal 17 Undang-Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman. "Kami tadi tunggu apa alasan mengesampingkan itu, tapi ternyata tidak ada alasan untuk mengesampingkannya," jelasnya di luar ruang sidang MK kemarin. BACA JUGA:Berkas Uji Materi Usia Capres Tanpa Tanda Tangan, MKMK Amankan CCTV Sementara Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gajah Mada (UGM) Yance Arizona menemukan kesamaan soal mengesampingkan Pasal 17 UU Kekuasaan Kehakiman. "Ini aneh, dikesampingkan tapi tidak jelas alasannya," paparnya. Menurutnya, seharusnya pasal 17 Ayat 6 UU Kekuasaan Kehakiman itu menjadi terobosan hukum dalam menyatakan sah tidaknya putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023. Sebab, pintu masuknya adalah pelanggaran kode etik. Namun, dalam UU tersebut tidak menyebutkan siapa yang berwenang menyatakan sah tidaknya putusan. "Tapi, itu tidak digunakan oleh MKMK," urainya. Secara umum putusan MKMK tersebut bisa dijalankan atau feasibility. Hakim MKMK sepertinya ingin kasus ini cepat diselesaikan. "Tapi muncul masalah lainnya, sebab dalam PMK itu tidak ada aturan pemberhentian sebagai Ketua MK. Hanya ada diberhentikan sebagai hakim konstitusi. Ini bisa dipertanyakan," urainya. BACA JUGA:Pemkot Siapkan Perda Khusus Disabilitas Sementara Prof Susi menambahkan, dengan semua kejadian di MK tersebut, beserta putusan MKMK yang membuat Anwar Usman tidak lagi bisa terlibat dalam mengadili sengketa pilpres, maka sebaginya Anwar Usman mengundurkan diri dari posisi hakim konstitusi. "Saya menghimbau begitu karena telah melakukan judicial discualification sendiri," paparnya. Sementara itu, Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie mengakui sanksi pemberhentian dari ketua sebagai titik moderat. Dia beralasan, jika diberhentikan, maka wajib diberi hak pembelaan melalui MKMK Banding sesuai ketentuan. Padahal, kelembagaan MKMK Banding juga belum dibentuk. Imbasnya, bisa menciptakan ketidakpastian hukum. "Membuat putusan majelis kehormatan tidak pasti," ujarnya. Padahal di sisi lain, Pemilu sudah di depan mata. Yang proses tahapannya membutuhkan kepastian hukum. Jika tidak, bisa menghancurkan kredibilitas pemilu. Jimly berharap, putusan MKMK bisa menjadi jalan keluar. "Mudah-mudahan dilaksanakan, dihormati sebagaimana mestinya," pungkasnya. (jpg)
Kategori :