Sedangkan untuk prodi sosial atau keagamaan, relatif tidak naik signifikan. Dia mengatakan UKT di UIN Jakarta tidak pernah mengalami perubahan atau kenaikan sejak 2017 lalu. Secara umum, Zainul mengatakan besaran UKT di PTKIN masih terjangkau masyarakat. Soal UKT yang dimulai dari Rp 0, dia mengatakan seharusnya memang seperti itu.
Sementara itu pengamat pendidikan sekaligus dosen pendidikan Jejen Musfah mengatakan, polemik UKT sejatinya pada proses leveling.
Dia mengatakan metode untuk menentukan level UKT setiap mahasiswa harus dirombak. Sehingga besaran UKT yang ditetapkan, sesuai dengan derajat keuangan mahasiswa.
Sebagai dosen, dia sering mendapatkan kabar mahasiswa tidak kuat dengan besaran UKT yang ditetapkan.
Bagi yang masih mendaftar, biasanya memilih tidak melanjutkan proses pendaftarannya. Atau mengajukan banding ke dekanat.
"Kalaupun berhasil bandingnya, UKT hanya turun satu tingkat," tuturnya.
Kemudian ada juga yang sudah jadi mahasiswa, di tengah jalan keberatan dengan UKT.
Bahkan beberapa dosen sampai patungan untuk membantu mahasiswa tersebut.
Jejen mengatakan kampus sebaiknya tidak melihat bahwa pengeluaran mahasiswa hanya UKT saja.
Dia mencontohkan ketika mahasiswa dikenai UKT Rp 6 juta/semester, bukan berarti cost mahasiswa tersebut hanya Rp 1 juta per bulan.
"Kampus harus memahami juga, ada biaya kos, makan sehari-hari, buku, transportasi, dan lainnya," katanya. Jadi dalam menetapkan leveling UKT, kampus harus mempertimbangkan beban living cost mahasiswa. Khususnya mahasiswa yang kuliah di luar domisili. Leveling UKT tidak hanya soal ekonomi keluarga.
Jejen juga menyampaikan, UKT sekarang memang cukup tinggi.
Dia mengatakan untuk mahasiswa yang orang tuanya PNS dengan penghasilan rata-rata, alias bukan PNS "sultan", cukup kesulitan jika dibebankan UKT kelompok tengah sampai atas. Apalagi jika yang bekerja hanya ibu atau ayahnya saja alias single income. (**)