Diketahui sebelumnya, Komisioner Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) Rejang Lebong Muhammad Al-Abror menyebutkan bahwa penanganan terhadap oknum tenaga honorer yang terlibat politik praktis berada di bawah kewenangan Badan Kepegawaian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia (BKPSDM) pemerintah daerah setempat.
“Artinya, Bawaslu tidak memiliki kewenangan langsung untuk menindak tenaga honorer yang terbukti terlibat dalam politik praktis,” ungkap Abror.
Meskipun Bawaslu bertugas mengawasi jalannya Pilkada, Abror menegaskan bahwa pihaknya tidak dapat melakukan penindakan terhadap tenaga honorer yang berpolitik praktis.
Hal ini disebabkan oleh tidak adanya regulasi yang mengatur secara khusus keterlibatan tenaga honorer dalam politik praktis di dalam lingkup kewenangan Bawaslu.
“Peran Bawaslu dalam konteks ini hanya sebatas memberikan masukan atau pengawasan secara umum, tanpa bisa memberikan sanksi langsung kepada tenaga honorer yang melanggar aturan. Bawaslu lebih fokus pada pelanggaran yang dilakukan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) atau pejabat publik yang secara jelas diatur dalam peraturan terkait netralitas ASN dalam Pilkada,” bebernya.
Abror mengakui, ketiadaan regulasi yang memberikan kewenangan kepada Bawaslu untuk menindak tenaga honorer yang terlibat politik praktis menjadi hambatan dalam menegakkan netralitas di lingkungan pemerintahan selama Pilkada.
Regulasi yang ada saat ini lebih banyak mengatur tentang ASN, sementara tenaga honorer berada di posisi yang berbeda dalam sistem kepegawaian pemerintahan.
“BKPSDM sebagai lembaga yang mengelola tenaga honorer di pemerintahan daerah memiliki tanggung jawab dalam melakukan pembinaan kepada para honorer yang terlibat dalam politik praktis. Kalau kita dari Bawaslu hanya memiliki tanggungjawab mengawasi terkait dengan ASN ataupun perangkat pemerintahan lainnya,” tambah Abror.
Abror menegaskan, Bawaslu memiliki kewenangan untuk mengawasi netralitas ASN sesuai dengan aturan perundang-undangan, seperti UU No. 5 Tahun 2014 tentang ASN.
Namun, untuk tenaga honorer, tidak ada aturan yang setara yang mengikat mereka secara langsung terkait netralitas politik.
Regulasi terkait tenaga honorer belum memberikan Bawaslu kewenangan untuk menindak mereka secara hukum, sehingga penanganannya hanya dapat dilakukan oleh BKPSDM di tingkat pemerintah daerah.
Selain itu, Bawaslu juga berfungsi sebagai lembaga yang mengawasi penyelenggaraan pemilu dan pemilihan umum. Fokus utama Bawaslu adalah pada pemilih, peserta pemilu (partai politik, calon), dan penyelenggara pemilu. Pelanggaran politik praktis yang melibatkan tenaga honorer tidak termasuk dalam lingkup pengawasan utama Bawaslu, sehingga mereka tidak memiliki dasar hukum untuk memberikan sanksi atau tindakan langsung terhadap tenaga honorer.
“Peraturan mengenai pelanggaran dalam politik praktis lebih banyak ditujukan pada pejabat negara atau pegawai ASN, yang memiliki aturan khusus mengenai netralitas politik. Sementara itu, tenaga honorer yang bukan ASN tidak diikat oleh peraturan ini, dan hal ini membatasi ruang gerak Bawaslu dalam memberikan sanksi terhadap keterlibatan mereka dalam politik praktis,” demikin Abror.
Diketahui bahwa saat ini sudah menjadi rahasia umum di Kabupaten Rejang Lebong, bahwa banyak honorer atau tenaga harian lepas (THL) di lingkungan Pemkab Rejang Lebong yang terlibat politik praktis.
Hal ini terlihat dari proses pendaftaran dari ketiga pasangan calon bupati dan wakil bupati Pilkada Rejang Lebong ke KPU Rejang Lebong beberapa waktu lalu, dimana diantara rombongan massa yang ikut mengantarkan terdapat sejumlah honorer yang bekerja di beberapa OPD di Pemkab Rejang Lebong.