MKOMUKO, KORANRB.ID – Program ketahanan pangan hewani yang di selenggarakan sebagian besar Pemdes yang dananya bersumber dari Dana Desa (DD), diduga bermasalah. Sebagaimana yang jadi sorotan Lembaga Pengawal Kebijakan Pemerintah Keadilan (LPKPK) Mukomuko.
Karena itu, LPKPK Mukomuko mendesak Inspektorat Daerah Mukomuko melakukan evaluasi penggunaan anggaran dalam program ketahanan pangan tersebut.
Penggunaan DD dalam program ketahanan pangan menghabiskan anggaran 20 persen dari total DD yang diterima setiap tahunnya. Tentu angka tersebut tidak sedikit jika 148 desa menjalankan program yang sama.
BACA JUGA: Baru Dibangun, Jembatan Menggiring Retak
Sejauh ini program ketahanan pangan ini memang berdasarkan hasil musyawarah desa (Musdes). Namun ketika pelaksanaan program tersebut tidak menjadi bergulir melainkan menjadi pembelanjaan habis pakai.
“Di dalam program ini, setiap desa melakukan pembelian hewan ternak dengan anggaran tidak kurang dari Rp100 juta pertahunnya. Sementara hewan yang dibeli tersebut tidak pernah dilakukan evaluasi, baik dari Inspektorat Daerah, atau Dinas Pemberdayaan Masyarakat Desa (DPMD),” jelas Wakil Ketua LPKPK Mukomuko, Wery Tri Kusuma SH, MH.
Dalam penggadaan barang dan jasa tentunya ada rangkaian yang harus dilakukan. Terlebih ini terkait penggunaan uang negara.
BACA JUGA: Program Ketahanan Pangan Bukan Hibah
Pengadaan barang, kata Wery semestinya dimulai dari survei tempat pembelian barang, penyedia yang berbadan hukum, serta surat keterangan bawasanya barang yang dibeli memang bisa dimanfaatkan.
Sementara hewan ternak yang dibeli dalam program ketahanan pangan tersebut tidak dilengkapi dokumen. Baik itu keterangan badan usaha penyedia, surat karantina hewan, serta standar harga yang sering tidak sesuai spesifikasi.
‘’Jadi wajar saja ketika hewan yang dibagikan ke masyarakat mati atau hilang. Kemudian dilakukan pengadaan kembali,” sampai Wery.
Kabid Peternakan dan Kesehatan Hewan Dinas Pertanian Mukomuko, drh. Diana Nurwahyuni mengakui tidak seluruh desa dalam pengadaan program ketahanan pangan hewani melibatkan Dinas Pertanian. Hanya ada beberapa desa saja.
‘’Hanya beberapa saja meminta kami menerbitkan Surat Keterangan Kesehatan Hewan (SKKH). Itu pun sebatas penerbitan saja, tidak melakukan pemantauan kesehatan rutin. Baik itu ternak sapi maupun kambing yang rata-rata berasal dari pedagang lokal,” sebutnya.
Dijelaskan Diana, SKKH berisikan tentang pemeriksaan hewan secara fisik. Itu pun hanya berlaku satu hari. Jadi tidak bisa digunakan untuk selamanya atau menyatakan ternak siap menjadi indukan dan produktif.
“Kami tidak melakukan karantina pada hewan tersebut, jadi kami tidak bisa memastikan lebih detail terkait hewan tersebut. Pemeriksaan yang pernah kami lakukan hanya kepada sapi dan kambing saja. Kalau unggas dan ikan tidak pernah,” sampainya.