Untuk melakukan OTT ada hal yang perlu diketahui seperti regulasi hukum yang mengatur oprasi ini secara legal.
• Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002, Pasal 12 yang memberikan wewenang kepada KPK untuk melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan
• Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2019, Pasal 38 yang menyatakan bahwa kewenangan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan berlaku juga bagi KPK
• Pasal 1 angka 19 KUHAP yang mengatur mengenai tertangkap tangan
Pasal-pasal tersebutlah yang mengatur dilakukanya secara legal Oprasi Tangkap Tangan.
Meskipun lembaga-lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk melakukan OTT, prosedur dan mekanisme pelaksanaannya tetap harus sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.
Biasanya, untuk melaksanakan OTT, lembaga-lembaga tersebut membutuhkan izin dari pengadilan atau atasan terkait, dan tindakan OTT harus didasarkan pada bukti yang cukup untuk mendukung adanya tindak pidana.
BACA JUGA:Mengandung Zat Beracun! Berikut 5 Fakta Unik Bunga Foxglove
BACA JUGA:Cara Memandikan Kucing Agar Tidak Ngamuk, Simak Tips Berikut
Prosedur OTT harus dilakukan dengan sangat hati-hati agar tetap sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku, seperti perlindungan hak asasi manusia dan hak-hak tersangka. Berikut adalah prosedur OTT yang wajib diketahui:
1. Adanya Bukti yang Cukup
Sebelum melakukan OTT, aparat penegak hukum (baik KPK, Polri, BNN, Kejaksaan, dan lainnya) harus memiliki bukti awal yang cukup yang menunjukkan bahwa seseorang sedang melakukan atau baru saja melakukan tindak pidana.
Bukti tersebut bisa berupa informasi dari saksi, penyelidikan sebelumnya, atau bukti lain yang mengarah pada tindak pidana.
2. Penyelidikan dan Pemantauan
Biasanya, OTT tidak dilakukan secara mendadak tanpa persiapan. Sebelumnya, terdapat penyelidikan dan pemantauan terhadap aktivitas tersangka. Ini dilakukan untuk memastikan bahwa tindak pidana tersebut terjadi atau hampir terjadi.
Misalnya, dalam kasus korupsi, KPK akan mengumpulkan bukti terkait transaksi yang mencurigakan.