Dalam beberapa kasus, dokter mungkin menyarankan untuk menghindari hubungan intim, terutama jika ada tanda-tanda komplikasi.
Jika ibu atau pasangan mengalami infeksi menular seksual (IMS), seperti herpes, gonore, atau klamidia, hubungan intim harus dihentikan untuk mencegah penularan ke janin melalui cairan ketuban atau selama persalinan.
Saat orgasme, tubuh wanita menghasilkan hormon oksitosin yang dapat menyebabkan kontraksi ringan pada rahim.
Dalam kondisi tertentu, seperti riwayat persalinan prematur atau masalah dengan leher rahim, kontraksi ini dapat berbahaya.
Pada kondisi seperti plasenta previa atau masalah lain yang melibatkan pembuluh darah di sekitar rahim, aktivitas seksual dapat memicu perdarahan hebat.
BACA JUGA:10 Makanan Ini Jangan Dikonsumsi Mentah, Perhatian Bagi Ibu Hamil
BACA JUGA:Ibu Hamil Hati - hati! Ini 5 Makanan Pemicu Keguguran
Jika selaput ketuban pecah atau terdapat infeksi, hubungan intim dapat memperbesar kemungkinan infeksi yang dapat membahayakan janin dan ibu.
Pada trimester akhir, rahim yang semakin membesar dapat memberikan tekanan ekstra pada organ tubuh.
Hubungan intim yang dilakukan dengan posisi tidak tepat dapat menyebabkan ketidaknyamanan atau bahkan cedera pada ibu.
Setiap ibu hamil memiliki kondisi kesehatan yang unik. Oleh karena itu, penting untuk berkonsultasi dengan dokter atau bidan terkait keamanan hubungan intim selama kehamilan.
Dokter akan mengevaluasi kondisi kehamilan berdasarkan riwayat medis dan gejala yang muncul untuk memberikan rekomendasi yang tepat.
Jika dokter menyarankan untuk menghentikan hubungan intim, pasangan tetap dapat menjaga keintiman dengan cara lain, seperti, menghabiskan waktu berkualitas bersama.
Memberikan sentuhan kasih sayang tanpa penetrasi. Berkomunikasi secara terbuka mengenai perasaan dan kebutuhan masing-masing.
BACA JUGA:5 Tanda-tanda Hamil Paling Umum Yang Dapat Kamu Kenali, Salah Satunya Sering Buang Air Kecil
BACA JUGA:Memijat Ibu Hamil Berisiko Bayi Prematur, Tapi Ada Cara Pijat Yang Aman: Begini Posisinya