JAKARTA, KORANRB.ID - Proses persidangan etik terhadap sembilan hakim konstitusi terus berjalan. Satu per satu, berbagai fakta yang memperkuat dugaan putusan 90 tahun 2023 bermasalah muncul.
Dalam persidangan lanjutan dengan agenda memdengarkan keterangan pelapor kemarin, Ketua Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Julius Ibrani mengaku mendapati dokumen perkara 90/2023 bermasalah. Sebab dalam berkas perbaikan yang diserahkan Almas Tsaqibbiru kepada panitera, tidak ditandatangani pemohon atau oleh kuasa hukum. BACA JUGA:3 Tersangka KUR ke Meja Hijau
Keteledoran itu, dinilai Julius sebagai kejanggalan. Sebab MK adalah role model pemeriksaan persidangan yang begitu tertib dan disiplin dalam administrasi. Sehingga dokumen tanpa tandatangan mestinya terdeteksi tidak memenuhi.
"Kami mendapatkan satu catatan dokumen ini tidak pernah ditandatangan dan ini yang dipublikasikan secara resmi oleh MK melalui situsnya," ujarnya. BACA JUGA:Jokowi Ajak Makan Siang Tiga Capres, Kompak Kenakan Batik Motif Parang
Baginya, kesalahan itu cukup fatal. Sebab tanpa tandatangan, berkas bisa dinyatakan tidak sah. Sehingga bisa dimaknai tidak pernah ada perbaikan. "Atau bahkan batal permohonannya," imbuhnya. Julius berharap, MKMk dapat mencermati dugaan pelanggaran administrasi tersebut.
Seperti diketahui, uji materi yang dilakukan sempat maju mundur. Pada 29 September, perkara sempat dicabut. Namun pada 30 September, perkara didaftarkan kembali.
Ketua MKMK Jimly Ashiddiqie mengakui, selain persoalan sikap hakim, salah satu subjek yang dicermati adalah kepastian tata tertib administrasi perkara. Selain yang dilaporkan pemohon, MKMK juga berupaya mencari bukti lainnya seperti melalui siaran CCTV. BACA JUGA:Terminal Panorama Belum Maksimal, PKL Ganggu Akses Angkot
"CCTV yang berkaitan dengan penarikan permohonan dan pencabutan dan kemudian diajukan lagi," ujarnya.
Dengan memeriksa CCTV, Jimly berharap bisa diketahui lebih detail kronologi dari posisi dokumen yang sempat dicabut tersebut. "Itu bagian dari persoalan manajemen registrasi dan persidangan," imbuhnya.
Sementara itu, kemarin MKMK memeriksa tiga hakim konstitusi. Yakni Daniel Yusmic, Muhammad Guntur Hamzah, serta Wahiduddin Adams. Kepada media, ketiganya tidak banyak memberikan keterangan. BACA JUGA:Ngaku Bisa Cairkan Pinjaman Hingga Rp 300 Juta, Karyawan Bank Gadungan Ditangkap
Ditemui usai pemeriksaan, Daniel mengaku hanya menceritakan berkaitan dengan persidangan dan proses yang berlangsung selama rapat permusyawaratan hakim. "Nanti hasilnya dari MKMK saja," tuturnya.
Sementara Koordinator Pergerakan Advokat Nusantara Petrus Selestinus mengatakan, begitu banyak pelanggaran yang dilakukan Ketua MK Anwar Usman. Karena itu, sebagai pelapor meminta ke MKMK untuk menyatakan perbuatan Anwar Usman sebagai pelanggaran kode etik berat. "Apalagi ada bukti autentik atas dugaan pelanggaran-pelanggaran itu," paparnya.
Dengan begitu, diharapkan MKMK menjatuhkan sanksi berat berupa pemberhentian dengan tidak hormat (PTDH) terhadaP Ketua MK Anwar Usman. "Sanski PTDH itu tepat, apalagi masyarakat dan DPR mulai menggulirkan ancaman pemakzulan terhadap Presiden Jokowi," ujarnya. BACA JUGA:Penyidikan Korupsi Retribusi TKA, Polres Benteng Periksa Lagi Mantan Kadis dan Kabid
Menurutnya, setelah diputuskan pelanggaran kode etik, maka sesuai dengan Pasal 17 Ayat 6 Undang -Undang Nomor 48/2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, putusan perkara nomor 90/ PUU-XXI/2023 harus dianggap tidak sah. "Ini perkataan UU, semua harus patuh," jelasnya.
Dia mengatakan, sesuai Ayat 7 dalam UU yang sama diwajibkan untuk menyusun majelis hakim baru tanpa Anwar Usman dalam memproses kembali perkara nomor 90/PUU-XXI/2023. "Proses harus diulang kembali dengan hakim yang tidak memiliki konflik kepentingan," tegasnya. (far/idr)
Kategori :