Kawal Pengusutan 5 Perusahaan Sawit Rambah Hutan Tanpa PPKH
Hutan dirambah dan dijadikan perkebunan kelapa sawit.--reno/rb
“Dalam UU No. 41 Pasal 50 itu sudah diatur tegas larangan berkegiatan di dalam kawasan hutan. Membakar, menebang, mengerahkan alat berat, semua ada sanksinya bisa dipenjara di atas 5 tahun dan denda miliaran rupiah. Tapi faktanya, alat berat pernah terpantau bebas beroperasi membuka kawasan hutan di Mukomuko,” ungkapnya.
Ia menyebut, pelanggaran hukum yang dibiarkan membuat regulasi kehilangan kesaktiannya.
“Kalau aturan hukum tidak ditegakkan, maka seolah semua peraturan yang dibuat pemerintah runtuh berkeping-keping,” ujarnya.
Lebih jauh, Dr H. Gunggung menjelaskan bahwa pemerintah sebenarnya telah membagi fungsi kawasan hutan menjadi 3 kelompok besar, Hutan Produksi, Hutan Konservasi, dan Hutan Lindung. Hutan Produksi sendiri terbagi lagi menjadi Hutan Produksi Terbatas (HPT) dan Hutan Produksi yang Dapat Dikonversi (HPK). Sedangkan Hutan Konservasi memiliki sejumlah turunan seperti Cagar Alam (CA), Suaka Margasatwa (SM), Taman Wisata Alam (TWA), dan Taman Nasional (TN).
“Untuk Mukomuko dan Bengkulu Utara, ada tiga fungsi besar kawasan hutan: Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) di bagian atas, lalu Hutan Produksi Air Teramang, dan HPT di Lebong Kandis, Air Rami, Ipuh I dan Ipuh II. Di pinggirnya ada kawasan APL (Areal Penggunaan Lain) serta TWA dan CA. Tapi kondisi di lapangan, sebagian besar sudah dibuka jadi kebun sawit,” jelasnya.
Ia menambahkan, kondisi serupa juga terjadi hampir di seluruh kabupaten di Bengkulu.
“Silakan lihat langsung. Di Lebong, Rejang Lebong, Kepahiang, Seluma, Bengkulu Selatan, dan Kaur, kebun kopi banyak yang berdiri di dalam kawasan hutan. Sementara di Bengkulu Utara hingga Mukomuko, yang mendominasi adalah kebun sawit. Dan itu bukan fenomena baru sudah lebih dari 10 tahun,” paparnya.
Dr. H Gunggung menilai, salah satu alasan lemahnya penegakan hukum adalah adanya dilema antara menjaga hutan dan mempertahankan sumber penghidupan masyarakat. Banyak warga yang tinggal di sekitar kawasan hutan menggantungkan hidup pada lahan yang sebenarnya masuk wilayah hutan negara.
“Kalau kawasan hutan benar-benar disterilkan dari aktivitas manusia, mungkin hutannya selamat, tapi masyarakat bisa kehilangan mata pencaharian. Jadi masalah ini tidak bisa diselesaikan dengan pendekatan hukum saja. Harus ada solusi sosial, ekonomi, dan kebijakan lintas sektor,” ujarnya.
Ia menegaskan, penanganan persoalan kehutanan tidak bisa sepihak. Pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga konservasi, akademisi, dan masyarakat harus terlibat secara bersama.
“Kalau ini dikerjakan sendiri-sendiri, hasilnya akan nol. Tapi kalau melibatkan semua pihak dari hulu ke hilir, keseimbangan bisa tercapai. Masyarakat tetap sejahtera, hutan tetap terjaga,” tegasnya.
Dr. Gunggung juga menyoroti adanya penumpang gelap dalam praktik pembukaan hutan yang kerap berlindung di balik nama masyarakat kecil.
“Sering kali dalihnya untuk masyarakat, padahal yang bermain pemodal besar. Kalau prosesnya dilakukan terbuka dan melibatkan masyarakat sejati, penumpang gelap seperti itu akan terlihat,” ujarnya.
Kini, Mukomuko dihadapkan pada pilihan sulit melanjutkan pembiaran yang membawa kehancuran ekologis, atau menegakkan hukum dan mencari jalan tengah agar alam dan manusia dapat hidup berdampingan.
“Kalau hutan habis, bukan hanya harimau yang kehilangan rumah, tapi kita semua yang kehilangan masa depan.”tutupnya.