Petani di Rejang Lebong Kurang Berminat Kopi Petik Merah, Ini Penyebabnya
PANEN: Salah seorang petani kopi di Kabupaten Rejang Lebong sedang memanen buah kopi di kebunya.-foto: dok/koranrb.id-
KORANRB.ID – Meski potensi dan kualitas tanaman kopi di Kabupaten Rejang Lebong sudah masuk pasar nasional, ternyata tidak dibarengi dengan kesadaran para petani kopi dalam peningkatan kualitas produksi kopinya.
Salah satu contohnya adalah ketidakmauan sebagian besar petani kopi untuk menjual kopi petik merah (cherry bean), meskipun harga kopi petik merah lebih menjanjikan.
Mayoritas petani merasa merugi jika memaksa menjual kopi petik merah.
Hal ini disebabkan oleh minimnya pasar untuk kopi petik merah di wilayah Provinsi Bengkulu dibandingkan dengan kopi biasa (asalan).
BACA JUGA:4 Tujuan Rehab Bendung Suplesi Kota Agung dan Selepah, Nomor 3 Cegah Banjir
Selain itu, faktor keamanan tanaman kopi menjelang panen juga menjadi alasan kenapa hampir sebagian besar petani kopi di Rejang Lebong lebih memilih memanen kopi secara acak.
Rahmat (47), seorang petani kopi warga Kecamatan Bermani Ulu Raya, mengungkapkan beberapa petani sempat tertarik dengan pengelolaan kopi petik merah.
Namun, sulitnya mencari pasar untuk menjual kopi petik merah di Provinsi Bengkulu membuat para petani akhirnya memilih mengelola kopi pasca panen dengan cara tradisional, yaitu mencampur biji kopi berwarna merah, kuning, dan hijau lalu dijemur di bawah terik matahari.
“Memang harganya mahal untuk kopi petik merah, bahkan bisa mencapai ratusan ribu per kilogramnya dulu. Tapi kesulitannya adalah tidak ada yang mau membeli kopi petik merah tersebut, sehingga kami kesulitan meningkatkan perekonomian kami,” keluh Rahmat.
Selain itu, para pelaku kopi di Bengkulu saat ini lebih memilih membeli kopi sortiran yang kemudian dijual di beberapa coffee shop dengan harga kopi premium.
BACA JUGA:10 Jalan Tol Terpendek di Indonesia, Salah Satunya Jalan Tol Bengkulu
Kondisi ini semakin membuat petani kopi merugi di tengah harga kopi yang fluktuatif dan hasil panen yang tidak menentu.
“Banyak pelaku kopi di Bengkulu yang tidak lagi membeli kopi petik merah kepada kami. Mereka lebih memilih membeli kopi sortiran yang harganya lebih murah, kemudian menjualnya dengan harga kopi premium. Jadi untuk apa kami harus memanen kopi petik merah,” jelas Rahmat.
Sementara itu, Iwan (54), petani kopi di Kecamatan Bermani Ulu, menyampaikan bahwa selain persoalan pasar, keamanan hasil perkebunan kopi juga menjadi alasan para petani untuk tidak menjual kopi petik merah.