ANALISIS KEBIJAKAN PERATURAN PEMERINTAH NO 53 TAHUN 2023

Pijar Qolbun Sallim--

Oleh: Pijar Qolbun Sallim

“Pejabat negara yang dicalonkan oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilihan umum sebagai calon presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, pimpinan dan anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat, pimpinan dan anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri, gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, wali kota, dan wakil wali kota” merupakan isi dari pasal 18 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2023 yang telah ditandatangani Presiden Jokowi pada 21 November 2023 lalu.

BACA JUGA:3000 Hektare Sawah Terancam Gagal Tanam

Kebijakan ini menimbulkan polemik dan perdebatan di ruang publik, masyarakat mempertanyakan urgensi dari kebijakan yang diteken Jokowi, yakni PP 53 tahun 2023. Pasalnya, ada beberapa hal yang perlu dikaji secara evaluatif terkait kebijakan ini. Dari segi waktu atau momentum dikeluarkannya kebijakan tersebut, kemudian apa urgensi yang ada di balik peraturan pemerintah ini, kenapa hanya Aparatur Sipil Negara (ASN), Anggota TNI/POLRI, serta Karyawan BUMN yang harus mengundurkan diri dari jabatannya ketika mencalonkan diri sebagai capres/cawapres? sementara menteri dan kepala daerah diberi hak untuk tetap pada jabatannya serta bisa mendapat izin cuti selama masa kampanye oleh presiden, kemudian langkah evaluatif seperti apa yang bisa diberikan terkait kebijakan ini?

BACA JUGA:MPP Sudah Layani 9 Ribuan Warga

Banyak asumsi, paradigma, dan perspektif yang muncul dalam membedah dan menganalisis kebijakan ini, tetapi saya akan melakukan analisis melalui kacamata dan basis ilmu politik. Kepentingan dan urgensi antarpihak mewarnai kebijakan ini, berbicara mengenai politik dan  kontestasi pemilu artinya berbicara mengenai kepentingan siapa dapat apa di mana dan kapan. Melalui PP ini, pihak yang disebutkan secara jelas yang sudah pasti memiliki kepentingan dalam kebijakan tersebut, yakni calon presiden/wakil presiden yang sedang menduduki jabatan sebagai menteri atau kepala daerah.

Menyikapi hal ini, ada beberapa alasan normatif yang melandasi niat baik dari kebijakan ini. Diantaranya melalui kebijakan ini, pejabat setingkat menteri atau kepala daerah yang terdaftar sebagai capres/cawapres tercantum di peraturan ini tidak harus mengundurkan diri, hal tersebut akan meredam terjadinya cacat demokrasi tingkat lanjutan (walaupun sebenarnya saat ini demokrasi kita sudah cacat), seperti penunjukan pejabat pengganti kepala daerah secara sepihak oleh kementerian atau pemegang wewenang untuk menentukan sosok pengganti posisi yang ditinggalkan oleh pejabat yang mencalonkan diri sebagai presiden/wakil presiden tersebut. 

BACA JUGA:1.532 Anak Belum Miliki Akta Kelahiran

Di sisi lain, apabila adanya pejabat pengganti maka akan tercipta lobbying baru antaraktor pemerintah yang sudah tentu sangat tidak demokratis. Kemudian, adanya potensi ketidaksesuaian antara kapasitas sosok yang meninggalkan jabatannya dengan pengganti yang akan menduduki posisi tersebut, implikasinya ialah tidak terlaksananya program yang telah disusun dan dirancang oleh kepala daerah tersebut sebelum meninggalkan posisinya. 

BACA JUGA:RSUD Tambah Layanan THT-KL

Selain itu, apabila kepala daerah tersebut menang, maka secara moral ia akan memberi kredit terhadap distrik yang ia tinggal untuk dibenahi terlebih dahulu, sebab ia merupakan kepala daerah dari tempat yang ia pimpin sebelumnya. Namun, pada hakikatnya, apakah sebaiknya menteri atau kepala daerah tetap memegang jabatannya selama kontestasi pilpres atau harus mengundurkan diri, maka secara jelas dalam konteks mengevaluasi kebijakan ini jawabannya adalah menteri atau kepala daerah yang sedang menjabat harus mengundurkan diri.

BACA JUGA:Penghasilan Perumda Tirta Rafflesia Capai Rp 3,2 M

Ada beberapa variabel yang perlu digarisbawahi terkait keluarnya kebijakan ini, yaitu dari segi waktu dikeluarkannya kebijakan tersebut, pihak yang memiliki kepentingan terhadap kebijakan tersebut, serta urgensi dari kebijakan tersebut. Dengan banyaknya variabel tersebut membuat rakyat khawatir terkait abuse of power di penghujung masa jabatan Presiden Jokowi. Oleh karena itu, apabila kita identifikasi secara komprehensif, adanya lobbying dan dorongan antarpihak yang berkepentingan memperlihatkan dengan jelas kemunduran demokrasi kita hari ini. Diantara pihak tersebut termasuk di dalamnya koalisi serta hubungan family yang potensi keterlibatannya sangat tinggi dalam menetapkan suatu kebijakan. Per awal februari 2022 indeks demokrasi Indonesia 6,71 dari skala 0—10 Indonesia masih masuk kategori flawed democracy (demokrasi cacat). Di akhir masa jabatan era kepemimpinan Jokowi, seharusnya ada upaya untuk sedikit memperbaiki atau menyelamatkan citra demokrasi Indonesia. Akan tetapi, di masa akhir jabatannya dengan keluarnya PP ini, pemerintah seakan memberi pukulan terakhir yang mengubur harapan bangkitnya demokrasi kita.

BACA JUGA:DD 2024 Meningkat Rp 106 Miliar

Kemunduran demokrasi ini juga akan disempurnakan oleh timbulnya penyalahgunaan kekuasaan bagi capres/cawapres yang masih aktif sebagai menteri atau kepala daerah, hal tersebut akan mendorong terciptanya pelanggaran dari segi etik, moral, dan demokrasi. Misalnya  pihak yang diuntungkan, seperti menteri dan kepala daerah yang saat ini mencalonkan diri sebagai capres/cawapres cenderung akan abuse of power dalam melakukan kampanye dalam proses pemilu nantinya. Sebab capres/cawapres masih memiliki jabatan aktif di posisinya maka akan tercipta kapasitas capres/cawapres sebagai menteri atau kepala daerah, bukan sebagai seorang calon peserta pemilu. Potensi penyalahgunaan kekuasaan dari kapasitasnya sebagai sosok yang memiliki jabatan akan sangat sempurna untuk mendukung calon tersebut dalam kontestasi pilpres yang diikuti. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan