Indonesia Harus Perkuat Trade Diplomacy

Mohammad Faisal--

KORANRB.ID – Pemerintah diminta melakukan perlawanan terhadap diskriminasi perdagangan internasional. Pasalnya, Indonesia tengah menghadapi serangan dari banyak negara. Misalnya, kebijakan ekspor minyak kelapa sawit (crude palm oil/CPO) dan nikel. 

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE), Mohammad Faisal mengatakan, produk CPO RI mendapat isu negatif karena dianggap tidak ramah lingkungan. Selain itu, World Trade Organization (WTO) menilai industri hilirisasi nikel Indonesia belum optimal sehingga belum waktunya menutup ekspor barang mentah.

’’CPO tekanannya besar. Kita harus konsisten memperjuangkan CPO, terutama pada sisi penetrasi ekspor. CPO dianggap sebagai sesuatu yang tidak ramah lingkungan. Sebagian bisa jadi benar, tapi ada juga motif tersembunyi dari negara yang menolak. Begitu pula dengan nikel, yang justru penolakan datang dari negara yang tidak mengimpor nikel mentah kita, yaitu Uni Eropa,” papar Faisal, Senin, 8 Januari 2024.

BACA JUGA: Desa Bersinar Diminta Lebih Aktif

Menurut Faisal, Indonesia perlu memperkuat trade diplomacy untuk melawan segala tuduhan yang tidak benar. Sebab, ada kepentingan tertentu guna mendorong produk substitusi CPO dari negara-negara yang menentang kebijakan ekspor Indonesia.

’’Seperti Eropa, mereka punya minyak bunga matahari, minyak kacang kedelai,” tuturnya.

Spesifik untuk larangan ekspor biji nikel, Faisal melihat Indonesia sempat mengalami kerugian ketika hendak memulai kebijakan hilirisasi. Namun, kini telah menjadi salah satu faktor penting yang membuat neraca perdagangan terus surplus.

’’Memang pada awal 2020 ekspor sempat menurun karena larangan ekspor bijih nikel. Tidak lama, logam dasar kita naik. Artinya, kerugiannya hanya jangka pendek karena hasil dari hilirisasi mulai terasa tanpa menunggu beberapa tahun lagi,” bebernya.

BACA JUGA:Kios Pasar Jangkar Mulai Diisi Pedagang

Terpisah, Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan menyebutkan bahwa Kemendag telah membuat perjanjian perdagangan antara Indonesia dan sejumlah negara pada 2023. Hal itu dilakukan sebagai upaya membuka akses pasar baru selain pasar tradisional sehingga diharapkan bisa mendorong ekspor Indonesia. 

Sejumlah perjanjian dagang tersebut, antara lain, penandatanganan pakta perdagangan Indonesia-Iraq Preferential Trade Agreement (PTA), penandatanganan Indonesia-UAE (IU) CEPA yang dilakukan pada 2022 dan telah diimplementasikan pada 1 September 2023, serta beberapa perjanjian dagang lain.

’’CPO memang salah satu komoditas yang menjadi andalan untuk ekspor nonmigas. Namun, barang tambang tetap digenjot. Seperti batu bara, nikel khususnya hilirisasi, dan manufaktur,” kata Mendag.

Sementara itu, mengenai diskriminasi Eropa, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan penguatan kerja sama dengan negara-negara penghasil kelapa sawit. Misalnya, Malaysia. Gapki menilai dua negara itu mempunyai kepentingan yang sama dalam melawan kampanye negatif dan diskriminasi terhadap produk sawit oleh Eropa dan Amerika.

”Jika melihat pasar minyak sawit Malaysia dan Indonesia, sebetulnya tantangannya satu, terutama pasar di Eropa. Dari tahun ke tahun tidak pernah selesai sampai hari ini. Mereka selalu mendiskriminasi komoditas kelapa sawit,” sebutnya.(**)

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan