Ir IBM Suastika MSc, mantan Birokrat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) yang kini menjadi praktisi budi daya udang asal Bali, memaparkan,
Indonesia telah mengadopsi international instrument dari FAO tahun 1995 terkait perikanan.
BACA JUGA:Pinjaman KUR BSI 2024 Hingga Rp 175 Juta, Cek Persyaratan dan Skema Angsuran
BACA JUGA:Wisman Asal Negara Tiongkok di Provinsi Ini Melonjak 921 Persen
Y^aitu Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam kerangka pemanfaatan sumber daya perikanan secara berkelanjutan.
Ditegaskan Suastika, tata kelola budi daya tambak udang selama ini menunjukkan tidak ada masalah dengan proses produksi dan produk budi daya, baik ancaman terhadap lingkungan perairan maupun keamanan pangan.
“Semua negara di dunia yang mengembangkan budi daya udang, kecuali Indonesia, belum ada yang mempersoalkan air buangan tambak sebagai ancaman lingkungan.
Indonesia sebagai big blue archipelagic state memiliki sumber daya perairan laut yang sangat besar. Oleh karena itu, tentu sangat kecil peluang aktivitas itu menimbulkan kerusakan,” tandas Suastika.
Suastika mengajak semua pihak agar lebih cermat menghitung potensi dan dampak sesungguhnya yang ditimbulkan oleh keberadaan tambak rakyat kepada lingkungan sekitar.
Pendapat senada disampaikan praktisi budi daya udang asal Sulteng, yakni Hasanuddin Atjo.
Dia juga menandaskan bahwa isu pencemaran lingkungan sangat tidak layak disandangkan ke pundak para petambak udang di manapun, termasuk di Karimun Jawa.
“Isu pencemaran lingkungan pada petambak udang sangat berbahaya bagi kelangsungan produksi udang secara nasional.
Sebanyak 40 persen devisa hasil ekspor perikanan disumbang oleh produk udang.
Kita bersaing ketat dengan negara produsen yang lebih kuat yakni, India, Ekuador, dan Vietnam. Jangan sampai,
tekanan pasar internasional meluas lagi menjadi isu pencemaran produk laut asal Indonesia,” tandas Atjo.