"Memang jika dianalisa secara hukum mengenai klien kami itu, tindakannya bukanlah sebagai inisiator dalam. perkara ini melainkan dia sebagai pesuruh dalam proyek pembangunan Asrama haji maka dari itu kami berjuang mengajukan kasasi," tutup Ranggi.
BACA JUGA:Penyakit Ngorok Landai, Vaksin Tetap Diajukan
BACA JUGA:Kekurangan Pejabat Fungsional, Ini Langkah Diambil Pemkab Bengkulu Selatan
Sekadar mengingatkan, sidang putusan terdakwa terdakwa Panca dibacakan Kamis, 14 Maret 2024 diketuai Majelis Hakim, Fauzi Isra, SH, MH.
Panca Saudara Silalahi divonis bersama Suharyanto dan terbukti melakukan tindak pidana korupsi sesuai dengan dakwaan primair Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bengkulu.
Suharyanto divonis 4 tahun 6 bulan pidana penjara, serta denda Rp200 juta subsidair 6 bulan.
Ia juga dibebankan pidana tambahan berupa uang pengganti (UP), sebesar Rp399 juta.
Dengan ketentuan apabila tidak diselesaikan dalam waktu satu bulan setelah putusan inkrah, maka harta benda terdakwa akan disita, dan jika tidak mencukupi akan diganti dengan pidana penjara selama 2 tahun.
Sementara, terdakwa Panca Saudara Silalahi divonis hukum 4 tahun pidana penjara, serta denda Rp200 juta subsidair 6 bulan penjara. Terdakwa Panca juga sama, dibebankan pidana tambahan UP sebesar Rp25 juta.
Kedua terdakwa terbukti secarah sah melanggar dakwaan primair Pasal 2 ayat (1) jo. Pasal 18 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
"Terdakwa Suharyanto dan terdakwa Panca Sudara Silalahi terbukti dan meyakinkan bersalah dalam pasal primair Jaksa Penuntut Umum," tegas Ketua Majelis saat membacakan amar putusan.
Untuk diketahui, dalam penyidikan proyek revitalisasi Asrama Haji ini berfokus pada ketidak benaran pada saat putus kontrak.
Yang bermasalah terkait putus kontrak dalam pengerjaan oleh kontraktor pertama yakni PT. BKN.
Dari putus kontrak tersebut ditemukan selisih atau pada saat itu dinamakan kelebihan bayar. Realisasi keuangan negara berbeda dengan realisasi fisik.
Sehingga terhadap adanya selisih pekerjaan yang tidak sesuai dengan kenyataan itu tentu timbul kerugian negara. Pasalnya jaminan uang muka dan jaminan uang pelaksanaan senilai Rp3,8 miliar yang seharusnya dikembalikan oleh Jasa Asuransi Indonesia (Jasindo) serta PT. BKN, diduga belum dikembalikan.