JAKARTA, KORANRB.ID – Transaksi mencurigakan ribuan calon anggota legislatif (caleg) yang ditemukan PPATK bisa menjadi pintu masuk penegak hukum untuk melakukan penelusuran dugaan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Ketua IM57+ Institute M. Praswad Nugraha menyebut, para caleg itu bisa dijerat karena menjadi bagian dari integrasi dan placement (penempatan) dalam proses pencucian uang.
Praswad menjelaskan, di tahap placement, pelaku pencucian uang menyisipkan uang ke lembaga keuangan yang sah. Biasanya, dalam bentuk setoran tunai. Berikutnya, uang tersebut digunakan untuk kegiatan-kegiatan yang legal dan tampak seolah-olah sah. ”Ini sering terjadi dalam kejahatan TPPU,” ujarnya kemarin (15/12).
Dalam konteks pemilu, uang haram hasil TPPU tersebut biasanya mengalir kepada para caleg atau kandidat dalam bentuk sumbangan. Praktik semacam itu umum dilakukan di tengah situasi minimnya sumber pendanaan yang sah untuk kebutuhan pemilu.
’’Di situasi seperti ini (pemilu, Red) para kandidat lengah untuk memilah dan menyeleksi sumber mana yang diperbolehkan dan yang tidak,” ujarnya.
BACA JUGA:Caleg Masih Pasang APK di Lahan TNI AU
Praswad menegaskan, aparat penegak hukum sudah bisa melakukan pengusutan dugaan TPPU. Apalagi, PPATK sudah menyebut bahwa transaksi mencurigakan itu diduga berasal dari praktik tambang ilegal.
”Kalau kejahatan pokoknya sudah diidentifikasi, caleg-caleg ini tentu bisa dikenakan pasal TPPU sebagai pihak yang menjadi penempatan uang kejahatan itu,” jelasnya.
Selama bertugas di KPK, Praswad menyebut modus semacam itu memang kerap kali terjadi saat pemilu. Terutama jelang pencoblosan. Hanya, KPK baru bisa menangani kasus tersebut jika pihak-pihak yang terlibat dalam kejahatan TPPU berlatar belakang penyelenggara negara. Misalnya, legislator yang masih menjabat alias petahana.
”Kalau di luar negeri, seperti di Amerika Serikat, praktik-praktik semacam ini betul-betul diusut, sekalipun si kandidat itu terpilih,” tutur mantan penyidik senior KPK tersebut.
Sementara itu, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini menambahkan, selama ini rekening khusus dana kampanye (RKDK) terkesan hanya formalitas. Pada Pemilu 2019, Titi menyebut mayoritas dana kampanye partai politik bersumber dari caleg. ”Namun bukan berupa uang tunai, melainkan sumbangan in kind berupa alat peraga atau bahan kampanye,” tuturnya.
BACA JUGA: Masih Ada APK Caleg Terpasang di Jalur Hijau Rejang Lebong
Titi menjelaskan, pengaturan dana kampanye di Indonesia secara sistemik dibuat untuk tidak mampu menjangkau akuntabilitas dan kebenaran dari penerimaan dan pengeluaran dana kampanye. Itu menyusul RKDK untuk pileg adalah berbasis partai. Sementara caleg tidak diatur untuk membuat RKDK.
”Mereka (caleg) melaporkan (dana kampanye) melalui partai politik yang laporannya lalu dikonsolidasi oleh partai,” jelasnya.
Di sisi lain, anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lolly Suhenty meminta publik untuk bersabar terkait dengan laporan transaksi mencurigakan rekening para caleg sebagaimana laporan PPATK. Lolly menyebut pihaknya mengedepankan prinsip kehati-hatian untuk mendalami laporan tersebut. ”Pekan depan Insya Allah kami akan sampaikan (perkembangannya, Red),” ujarnya kepada Jawa Pos.
Humas Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) M. Natsir Konga mengatakan, analisis transaksi mencurigakan pada calon anggota legislatif terdaftar itu telah dilakukan. PPATK sudah menemukan sampel. Salah satunya transaksi yang masuk dari illegal mining atau pertambangan ilegal tak berizin.