Pada zaman penjajahan Jepang, untuk menyamarkan posisi desa Lawang Awang supaya tidak dapat ditemukan oleh penjajah, maka ditanamlah buluh (bambu) aur disepanjang perbatasan desa dengan sungai Air Keruh.
“Supaya Desa Lawang Agung tidak ditemukan orang jepang, maka disepanjang perbatasan desa ditanami buluh aur”, ungkap Matsah.
BACA JUGA:5 Mitos di Balik Keindahan Danau Toba, Salah Satunya Dihuni Ikan Mas Raksasa
BACA JUGA:Peduli Palestina, Ajak Warga Salat Gaib di Seluruh Masjid
Mitosnya dengan ditanami buluh (bambu) aur tersebut, maka penjajah Jepang pada masa itu kesulitan untuk menemukan letak pastinya posisi desa Lawang Agung.
Dimana dengan adanya tanaman buluh (bambu) tersebutlah, maka talang yang dibangun pada masa itu berubah nama menjadai Talang Aur.
BACA JUGA:Mitos Desa Lawang Agung, Diselubungi Tabir Gaib, Sulit Ditemukan Oleh Penjajah
BACA JUGA:Omzet Pedagang di Wisata Kota Tuo Merosot Tajam
Pada masa sekarang Talang Aur tetaplah bagian dari desa Lawang Agung, adapun penduduk yang menghuninya pun juga keturunan warga Desa Lawang Agung.
Desa Lawang Agung dan Talang Aur, pada umumnya sama dengan desa-desa yang ada di Kabupaten Empat Lawang.
Adapun suku yang menghuni desa tersebut adalah Suku Pasemah, mereka masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan nenek moyangnya.
BACA JUGA:Danau Tes, Dibalik Pesonanya yang Memukau Tersimpan Mitos Keberadaan Ular Kepala Tujuh
BACA JUGA:Pleno Kota Arga Makmur, Potensi Dua Incumbent Bertahan
Salah satunya adalah, pada saat ada hajatan ataupun musibah, mereka selalu bergotong royong dan saling membantu satu sama lainnya.
Selain itu, Desa Lawang Agung dan Talang Aur mempunyai panorama yang indah, dengan bentangan sawahnya yang sangat luas.
Pada saat setelah tanam padi, maka pemandangan yang hijau dan menyejukkan mata akan membentang sejauh mata memandang.