Fahmi menyatakan bahwa dalam ayat (1) pasal 47 UU TNI disebutkan bahwa prajurit aktif tidak boleh memegang jabatan sipil kecuali mengundurkan diri atau pensiun.
Kemudian ayat (2) pasal yang sama memberikan afirmasi.
”Ada sejumlah kementerian dan lembaga yang dibolehkan untuk diisi prajurit aktif. Terutama karena urusan dan atau kewenangannya dinilai berkaitan, beririsan, atau membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif,” bebernya.
Ayat itu, lanjut Fahmi, merinci secara jelas kementerian dan lembaga yang boleh diisi prajurit TNI.
”Sayangnya alih-alih dibatasi, terutama dalam satu dekade terakhir, sejumlah prajurit diketahui telah menduduki berbagai jabatan yang ternyata tidak atau belum diatur dalam UU 34 tahun 2004 tentang TNI,” sesalnya.
Bahkan ada prajurit aktif yang mengisi jabatan sipil padahal jabatan itu tidak beririsan atau berkaitan dengan tugas dan fungsi TNI.
Dalam praktik tersebut, Fahmi melihat sebagian besar permintaan prajurit aktif untuk mengisi jabatan sipil berasal dari menteri dan pimpinan lembaga. Permintaan itu kemudian disetujui oleh pimpinan TNI. Beberapa permintaan datang dengan alasan memadai. Namun banyak juga yang datang dengan alasan yang kurang relevan dan tidak memiliki urgensi.
”Hal itulah yang menurut saya kemudian melatar belakangi hadirnya Pasal 19 ayat (3) UU Nomor 20 Tahun 2023 tentang ASN,” imbuhnya.
Pasal tersebut menegaskan bahwa pengisian jabatan ASN yang berasal dari prajurit TNI dan personel Polri dilaksanakan sebagaimana aturan UU TNI dan UU Polri.
”Jadi terkait prajurit TNI, kehadiran UU nomor 20 tahun 2023 justru seharusnya dimaknai sebagai upaya meminimalisir dan menepis potensi kembalinya dwifungsi TNI,” imbuhnya.
Sepanjang belum ada perubahan, ketentuan pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) pada UU TNI wajib menjadi acuan.
Karena itu, Fahmi menyatakan bahwa aturan pelaksanaan dari UU ASN, termasuk penyusunan RPP ASN, mestinya harus mengacu pada aturan dalam pasal 47 UU TNI.
”Bukan justru mengatur hal-hal yang tidak selaras dengan semangat UU tersebut atau bahkan memayungi praktik-praktik yang selama ini berada di luar ketentuan UU,” kata dia.
Khusus untuk Polri, Fahmi menilai penempatan personel Polri dalam jabatan sipil harus dievaluasi.
Fahmi tidak menyangkal, sesuai UU Polri sudah dinyatakan sebagai perangkat sipil negara dan tunduk pada hukum sipil.
Namun, mereka punya tugas dan fungsi yang sudah jelas dalam rangka melindungi masyarakat, memelihara keamanan, dan ketertiban umum serta menegakkan hukum.
”Jangan sampai kita sibuk mengantisipasi kekhawatiran kembalinya dwifungsi TNI, tapi malah menghadirkan multifungsi Polri yang justru lebih mengkhawatirkan,” imbuhnya. (**)