Pemkab Rejang Lebong Siapkan Penyusunan Raperda RTRW 2024-2044
SAMPAIKAN: Dr. H. Asli Samin, S.Kep, M.Kep sampaikan proses penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Rencana Tata Ruang Wilayah (Raperda RTRW) yang akan berlaku dari tahun 2024 hingga 2044. ARIE/RB--
Selain itu, dampak lingkungan seperti erosi dan pencemaran tanah juga telah mengancam kelangsungan hidup para petani di Rejang Lebong.
"Dengan adanya Raperda RTRW, Pemkab Rejang Lebong berharap dapat mengendalikan aktivitas pertambangan yang merugikan dan melindungi infrastruktur serta lingkungan di sekitar wilayah pertambangan," jelas Asli.
BACA JUGA:Dinas Dikbud Lakukan Pendampingan Pembentukan Komunitas Belajar
BACA JUGA:November, Juara Lomba Balita Sehat Akan Wakili Kaur di Tingkat Provinsi
Dalam proses penyusunan RTRW ini, sambung Asli Pemkab Rejang Lebong harus melengkapi berbagai dokumen pendukung, termasuk penentuan titik koordinat untuk batas wilayah.
Hal ini diperlukan untuk memastikan bahwa batas-batas wilayah antar-kecamatan dan antar-kabupaten jelas dan sesuai dengan yang tercantum dalam RTRW Provinsi Bengkulu.
Selain itu, pemetaan wilayah khusus seperti kawasan wisata dan lokasi tambang juga harus dilakukan dengan cermat.
"Kita saat ini sedang berkoordinasi dengan Pemerintah Provinsi Bengkulu untuk memastikan agar data peta wilayah yang digunakan adalah data terbaru dan terakurat, yang bisa digunakan sebagai acuan dalam tata ruang wilayah," tambahnya.
Asli juga menekankan pentingnya peta kawasan wisata dalam dokumen RTRW ini. Kawasan wisata yang dikelola secara baik dapat meningkatkan pendapatan daerah melalui sektor pariwisata, yang pada gilirannya akan mengurangi ketergantungan pada sektor pertambangan sebagai sumber pendapatan.
"Namun, tanpa adanya pemetaan yang jelas, bisa terjadi tumpang tindih wilayah antara zona wisata dan zona pertambangan, yang berpotensi menimbulkan konflik kepentingan di masa depan," kata Asli.
Dalam beberapa tahun terakhir, Kabupaten Rejang Lebong juga menghadapi permasalahan serius terkait alih fungsi lahan.
Berdasarkan data dari Dinas Pertanian dan Perikanan Kabupaten Rejang Lebong, dalam kurun waktu sepuluh tahun terakhir, luas lahan persawahan di daerah ini mengalami penyusutan drastis dari lebih dari 9.000 hektare menjadi hanya sekitar 3.600 hektare.
"Penyusutan ini disebabkan oleh adanya alih fungsi lahan dari pertanian menjadi usaha lain yang tidak sesuai peruntukan, seperti perumahan, usaha non-pertanian, hingga pertambangan," beber Asli.
Alih fungsi lahan yang tidak terkontrol ini tidak hanya mengurangi luas lahan yang tersedia untuk pertanian, tetapi juga menimbulkan risiko terhadap ketahanan pangan lokal.
Jika tidak ditangani, penurunan lahan pertanian ini dapat mengurangi hasil panen lokal, meningkatkan ketergantungan pada pasokan pangan dari luar, dan bahkan memperburuk kerawanan pangan di daerah tersebut.