BI Rate Tidak Ikuti Fed Funds Rate
Gubernur BI, Perry Warjiyo-IST/RB-
KORANRB.ID – Bank Indonesia (BI) tidak akan mengikuti The Federal Reserve (The Fed) dalam menurunkan suku bunga acuan. Inflasi dalam negeri mencapai sasaran dan stabilitas nilai tukar rupiah menjadi acuan. Jika dua hal itu terpenuhi, besar kemungkinan BI rate akan turun di semester II 2024.
“Apakah BI rate akan mengikuti Fed funds rate (FFR)? Enggak. Di dalam menentukan BI rate memang kami mempertimbangkan, tapi tidak akan following. Yang kita lihat adalah tercapainya sasaran inflasi 2,5 persen plus minus 1 persen pada 2024/2025 dengan perkembangan nilai tukar yang menguat dan stabil,” tegas Gubernur BI, Perry Warjiyo setelah rapat dewan gubernur, Kamis (21/12).
Dia melihat suku bunga kebijakan moneter, termasuk FFR, telah mencapai puncaknya. Namun, masih akan bertahan tinggi dalam waktu yang lama alias high for longer. Kemungkinan penurunan FFR terjadi pada semester II tahun depan sebanyak 50 basis point (bps).
BACA JUGA:Cawapres Adu Gagasan Ekonomi
Meski demikian, pelaku pasar keuangan global ada yang memproyeksi penurunan FFR lebih awal di kuartal II 2024. Bahkan ada yang memprediksi penurunannya sebanyak 75 bps.
’’Tapi, kami selalu mendasarkan pada analisis fundamental dari Amerika serikat (AS),” ujar lulusan Iowa State University itu.
BI memprakirakan pertumbuhan ekonomi global 2023 sebesar 3 persen dan melambat menjadi 2,8 persen pada 2024.
BACA JUGA: Bawaslu Beri Penguatan Saksi Peserta Pemilu
Pertumbuhan ekonomi AS dan India tahun ini lebih baik dari prakiraan awal. Ditopang oleh konsumsi rumah tangga dan ekspansi pemerintah. Sedangkan Tiongkok mengalami pelemahan seiring dengan konsumsi rumah tangga dan investasi yang tumbuh terbatas.
Inflasi di negara maju, termasuk di AS, dalam kecenderungan menurun, tetapi tingkatnya masih di atas sasaran. Kejelasan arah kebijakan moneter di negara maju tersebut mendorong mulai meredanya ketidakpastian pasar keuangan global.
Sehubungan dengan itu, aliran modal sejauh ini mulai kembali masuk dan menurunkan tekanan pelemahan nilai tukar di negara emerging market, termasuk Indonesia. Tapi, sejumlah risiko dapat kembali meningkatkan ketidakpastian perekonomian dunia. Di antaranya, masih berlanjutnya ketegangan geopolitik.
BACA JUGA:Bengkulu Zona Hijau Kepatuhan Penyelenggaraan Pelayanan Publik
’’Tentu saja kami akan melihat bulan berikutnya dan tentu akan terus update perkembangannya. Poin kami adalah bahwa FOMC (Federal Open Market Committee) masih ingin membawa (perekonomian) Amerika soft landing,” ucap Perry.
BI mempertahankan BI rate sebesar 6 persen untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah. Dengan begitu, tekanan imported inflation mulai dimitigasi. Apresiasi nilai tukar rupiah bisa memperbesar dan tercapainya sasaran inflasi.