BENGKULU, KORANRB.ID – Tidak lama lagi, tahun 2023 akan segera berakhir dan berganti dengan tahun 2024. Lalu bagaimana Sejarah Perayaan Tahun Baru Masehi dan Hukum Merayakan Menurut Islam?
Untuk diketahui Meskipun penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, namun untuk perhitungan tanggal bulan dan tahun, Indonesia saat ini menggunakan perhitungan tahun masehi. Meski demikian, tahun Hijriyah pun juga tak lepas dari penanggalan di Indonesia. Terutama untuk penetapan Idul Fitri, Ramadan, Tahun Baru Islam dan lainnya.
BACA JUGA:Hukum Bunuh Diri Dalam Islam Menurut Ustaz Syafiq Riza Basalamah
BACA JUGA:10 Negara Ini Punya Kalender Selain Masehi, Termasuk Indonesia
Bicara tentang Tahun Baru masehi, bagaimana sejarah perayaannya hingga bisa berkembang dan digunakan negara hampir di seluruh muka bumi sampai saat ini?
Dari data yang ada, perayaan tahun baru masehi ini dimulai sekitar 2.000 tahun sebelum masehi (SM) atau 4.000 tahun lalu. PerayaanTahun Baru ini pertama kali dilakukan oleh warga Babilonia Kuno dengan tujuan sebagai wujud penghormatan kepada kedatangan tahun baru.
Masyarakat Babilonia ini menggunakan penanggalan pada bulan pertama dengan berdasarkan pada perpotongan lingkaran ekuator dan ekliptika (vernal equinox). Sehingga perayaan tahun baru akan dimulai setiap pergantian musim, atau pertengahan Maret.
BACA JUGA:Info Lengkap Universitas Islam Timur Tengah Terbaik dan Cara Lulus dengan Beasiswa
Dulunya, masyarakat Babilonia kuno merayakan Tahun Baru dengan cara melakukan sejumlah ritual. Diantaranya yakni pelaksanaan festival keagamaan yang dikenal sebagai Akitu. Festival Akitu digelar selama 11 hari dengan berbagai kegiatan yang berbeda setiap harinya.
Bagi bangsa Babilonia, perayaan Tahun Baru merupakan bentuk penghormatan atas kemenangan Dewa Langit Marduk saat bertempur melawan Dewi Tiamat yang menguasai laut yang dianggap jahat. Selama perayaan tahun baru itu, Raja Babilonia menerima mahkota sebagai simbol dari para dewa sebagai tanda penobatan.
BACA JUGA:Paket Menginap Tahun Baru Bersama Hotel Santika Bengkulu
Sejarah perayaan Tahun Baru Masehi bisa ditelisik hingga ke peradaban Romawi kuno, yang dikenal sebagai masyarakat pagan atau pemuja berhala. Selain itu ada juga komunitas Zoroastrianisme yang menyembah dewa. Sebelum menggunakan penanggalan Masehi, kerajaan Romawi kuno menggunakan kalender Romawi sendiri sebagai acuan waktu pada masa itu.
Namun semua itu berubah. Saat Julius Caesar menjabat sebagai kaisar Roma, ia tidak lagi menggunakan kalender Romawi kuno yang sudah digunakan dari abad ke-7 SM. Saat membuat kalender baru ini, dibantu oleh seorang ahli astronomi dari Iskandariyah bernama Sosigenes.
BACA JUGA:BMKG Prediksi Malam Tahun Baru Berpotensi Gempa Bumi
Sosigenes memberikan saran kepada Julius Caesar agar kalender yang baru menggunakan dasar pada revolusi matahari. Hal ini mencontoh pada kebiasaan orang Mesir pada masa lalu. Hasil dari pembahasan itu, tercetuslah bahwa kalender yang baru mulai dihitung sebagai 365 hari. Selanjutnya Julius Caesar menambahkan 67 hari pada tahun 45 SM.